Monday, September 30, 2019 0 comments

Gerakan Mahasiswa Bangkit Kembali, Preseden Buruk bagi Penguasa!



Demonstrasi mahasiswa pecah. Setelah lebih dari dua dekade jatuhnya kediktatoran Orde Baru gerakan mahasiswa bangkit kembali. Kali ini gerakan memobilisasi dirinya untuk menentang paket perubahan undang-undang yang dianggap kontroversi. Di antaranya yang menyebabkan kemarahan adalah RUU pelemahan terhadap KPK dan beberapa RUU lain yang mencakup kriminalisasi pasangan pra-nikah, pemberangusan terhadap komunisme hingga membuat ilegal menghina presiden. Mereka tahu bahwa pengesahan RUU ini akan menjadi serangan bagi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan demokrasi, yakni capaian-capaian yang telah dimenangkan oleh Gerakan Reformasi 1998.
Di Jakarta ribuan mahasiswa menduduki kantor DPR. 20 ribu polisi dan tentara dikerahkan. Dalam waktu dua hari kota-kota lain juga menempuh jalan yang sama. Ribuan mahasiswa mengorganisir dirinya keluar dari  kampus-kampus untuk menduduki kantor-kantor pemerintahan. Aparat yang tidak cukup sigap sepertinya terkejut melihat besarnya gerakan ini. Bentrokan pecah di jalanan. Asap gas air mata menyelimuti para demonstran. Respons negara adalah represi langsung. 500 orang dikabarkan ditangkap dan ada 90 lainnya yang dikabarkan hilang . Di Kendari 2 mahasiswa tewas. Di Makassar kendaraan lapis baja menabrakkan dirinya di antara kerumunan demonstran, yang menyebabkan 2 orang luka-luka.
Friday, September 27, 2019 0 comments

Rezim Jokowi, Krisis Reformasi, dan Tanda Kehancuran Politik



BELUM lama berselang, kita menyaksikan demonstrasi besar-besaran para mahasiswa di sejumlah wilayah di Indonesia. Secara historis, demonstrasi ini boleh dipandang sebagai demonstrasi terbesar para mahasiswa di seluruh Indonesia pasca-reformasi.
Secara garis besar ada sejumlah tuntutan mahasiswa terhadap DPR dan Pemerintah yang disampaikan dalam aksi itu. Pertama, mahasiswa menuntut Presiden Joko Widodo membatalkan Revisi Undang-Undang Komisi Pembaratasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kedua, mahasiswa memprotes Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan karena dinilai tak sesuai dengan amanat reformasi. Untuk aksi di DPR, ada empat poin tuntutan mahasiswa:  Pertama, merestorasi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, merestorasi demokrasi, hak rakyat untuk berpendapat, penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, dan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan. Ketiga, merestorasi perlindungan sumber daya alam, pelaksanaan reforma agraria dan tenaga kerja dari ekonomi yang eksploitatif. Keempat, merestorasi kesatuan bangsa dan negara dengan penghapusan diskriminasi antaretnis, pemerataan ekonomi, dan perlindungan bagi perempuan (Ambranie Nadia Kemala Movanita, Kompas.com, 24/09/2019).
Tuesday, September 24, 2019 0 comments

Rintangan dan yang Harus Dilakukan untuk Reformasi Jilid 2



Lawan Oligarki, Selamatkan Demokrasi!
Oligarki di Senayan, Oligarki di Istana!
Oligarki di Kota, Oligarki di Desa!
Oligarki Berwajah Nasionalis, Oligarki Berwajah Islamis!
Lawan Manipulasi Identitas yang Mempertentangkan Rakyat!
BEBERAPA bulan lalu saat pemilihan umum, sang calon petahana terpilih kembali sebagai presiden karena kepercayaan publik bahwa ia adalah orang baik yang bisa membawa perubahan. Padahal selama periode pertama pemerintahannya, konflik agraria terus meningkat, rakyat terus digusur dan ditindas, alat-alat negara digunakan untuk membungkam kritik dan oposisi. Kini pemerintah kembali membalik kepercayaan buta pendukungnya, mengkhianati agenda reformasi, bahkan sebelum dilantik.
Rakyat Papua menghadapi operasi militer yang serius dari pemerintah setelah mereka melawan rasisme dan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat militer dan ormas-ormas preman di Surabaya. Hingga kini represi oleh aparat militer dan kepolisian dan pembatasan akses internet di Papua serta pembungkaman aktivis-aktivis pembela rakyat Papua terus dilakukan. Polri mengkriminalkan aktivis pembela rakyat Papua dengan tuduhan sebagai penyebar hoaks, padahal yang nyata telah menyebarkan disinformasi mengenai situasi di Papua adalah pemerintah, baik melalui kementerian informasi dan teknologi (Kemenkominfo) maupun militer.
Saturday, September 21, 2019 0 comments

Revisi UU KPK, Memperkuat atau Melemahkan KPK?


Mari kita mulai dari pertanyaan sederhana: kenapa Negara ini memerlukan sebuah lembaga anti-korupsi yang independen dan profesional?
Saya berikan dua jawaban singkat. Pertama, lembaga penegak hukum yang sudah ada, yaitu kepolisian dan kejaksaan, tidak efektif dalam memerangi korupsi. Keduanya gampang masuk angin, kadang tebang pilih, dan kerap menciut di hadapan terduga korupsi yang punya relasi kuasa.
Kedua, salah satu semangat dari Reformasi 1998 adalah membebaskan bangsa dan negara ini dari perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Kita buang jauh-jauh Orde Baru karena KKN-nya. Dan kita menginginkan Indoenesia pasca Orba yang merdeka dari KKN.Karena itu, pada tahun 2002, melalui Undang-Undang nomor 30 tahun 2002, bangsa ini punya lembaga anti-rasuah baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nah, agar tidak gampang masuk angin, lembaga baru ini bersifat independen dan terbebas dari kekuasaan mana pun.
Tuesday, September 17, 2019 0 comments

Jalan keluar bagi papua: referendum, bukan dialog atau maaf-maafan





Teror, kekerasan, dan perlakuan rasis sekali lagi menimpa kaum muda Papua yang bermukim di luar Papua, khususnya kali ini di Surabaya, Malang, Semarang dan Ternate. Berita bagaimana anak-anak muda ini diperlakukan bak binatang memantik aksi massa di seluruh penjuru Papua, massa yang lama juga telah merasakan hal yang sama, yakni dimaki dan diperlakukan seperti “monyet”. Di Manokwari demo ini berujung dengan pembakaran kantor DPRD.
Peristiwa ini menaruh rasisme terhadap Papua ke dalam sorotan nasional, terutama ketika ini terjadi pada momen perayaan kemerdekaan Indonesia. Gembar-gembor nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia tiba-tiba terusik oleh realitas perlakuan rasis yang dialami oleh rakyat Papua. Potret Kebhinekaan Tunggal Ika tidak lagi seindah yang dibayangkan oleh yang berkuasa.
nilah mengapa rejim dengan bersusah payah mencoba mengecilkan apa yang terjadi, bahwa semua ini hanyalah riak. Kapolri Tito Karnavia misalnya mengatakan bahwa “aksi kerusuhan di Manokrawi berawal dari peristiwa kecil [!] di Malang dan Surabaya.” Tetapi “peristiwa kecil” ini -- pengepungan, penyerbuan, penangkapan sewenang-wenang yang disertai makian-makian “monyet” -- adalah peristiwa-peristiwa kecil yang setiap harinya dialami oleh rakyat Papua selama lebih dari 50 tahun. Kerusuhan yang menyusul demo di Manokrawi oleh karenanya bukan disebabkan oleh “foto hoaks” atau “kepentingan tertentu” seperti yang dinyatakan oleh Kapolri. Persekusi yang dialami oleh rakyat Papua bukanlah hoaks. Kepentingan yang ada bukan kepentingan “tertentu” tetapi kepentingan umum rakyat Papua yang menuntut hak-hak dan kebebasannya.
Friday, September 13, 2019 0 comments

Kaum Muda Hong Kong Melawan UU Ekstradisi


Sambil menggunakan masker gas air mata dan mengacungkan tinju ke atas kaum muda memenuhi jalanan kota di Hong Kong. Bentrokan tidak bisa dihindari. Polisi kebingungan mengatasi kerumunan orang yang datang dari segala arah. Setelah kucing-kucingan dengan polisi, mereka berkumpul di satu bagian kota hanya untuk bubar dan berkumpul di tempat lain. Mereka mencapai beberapa target titik aksi secara bersamaan. Demonstran semakin pintar mengecoh aparat. Aksi semakin tampak  terorganisasi. Mereka mendorong pagar penghalang dan melemparkan batu bata, botol dan tongkat pada polisi. Ketika polisi mengarahkan gas air mata ke arah mereka, mereka mengejar tabung yang mengeluarkan asap dan menyiramnya dengan air. Inilah gambaran kondisi Hong Kong.
Selama 10 minggu berturut-turut belum ada tanda-tanda gerakan ini akan berakhir. Para demonstran mengubah kota-kota di Hong Kong menjadi medan pertempuran. Ini adalah demonstrasi terbesar sepanjang 15 tahun terakhir. Demonstrasi semakin meluas dan sulit dipadamkan. Kondisi ini melemparkan Hong Kong pada krisis politik. Hampir dua juta dari tujuh juta orang berpartisipasi dalam demonstrasi ini. Mereka menyerukan pemerintah untuk menarik undang-undang yang diusulkan yang memungkinkan ekstradisi ke daratan Tiongkok.
Wednesday, September 4, 2019 0 comments

Mempersiapkan Rovolusi Melalui Pemogokan Umum


Ketika saya terlibat dalam berbagai demonstrasi buruh tahun 2012 yang menurun dua tahun setelahnya, saya mendapatkan pengalaman bagaimana pola pasang-surutnya sebuah gerakan. Gerakan buruh itu memang gagal mencapai tahap selanjutnya karena tekanan penguasa dan pimpinan-pimpinan serikat buruh yang lebih memilih berkompromi atau menerima konsesi-konsesi. Gerakan massa besar kemudian beralih dinaungi oleh kelompok Islam 212 dengan daya mobilisasi maksimal 700 ribu orang ke Jakarta. Jauh mengungguli mobilisasi buruh ke Jakarta yang hanya 150 ribu orang pada May Day 2012.
Dari segi kualitas, gerakan 212 bukanlah gerakan demokrasi, justru sebaliknya, adalah gerakan reaksioner yang membahayakan demokrasi itu sendiri. Sebabnya adalah gagasan-gagasan konservatisme yang mengatasnamakan agama dan posisi politiknya yang mengakomodir kembalinya Orde Baru. Meskipun gerakan ini membahayakan demokrasi, tetapi tetap saja suatu materi pasti memiliki sisi positif, sesedikit apapun itu. Gerakan ini telah memberikan pengalaman bagi kelas bawah untuk memobilisasi diri dalam aksi-aksi massa. Sama seperti ketika gerakan buruh tahun 2012 memberikan pengalaman pemogokan bagi jutaan buruh. Selama ini, harapan rakyat untuk perubahan tidak mendapatkan salurannya. Tidak juga di gerakan buruh yang terfragmentasi sedemikian rupa dan oportunisme para pimpinan serikat besar akibat dukung-mendukung elite politik.
 
;