Banyak aktivis gerakan yang menginginkan revolusi
dan menunggu datangnya peristiwa itu. Namun ketika dihadapkan dengan pertanyaan
tentang kesiapan mereka menghadapi revolusi, mereka lantas mundur ke belakang.
Mereka tidak membahas ini lebih jauh. Bagi mereka gerakan adalah segalanya.
Pertanyaan teori tidak pernah hinggap di kepala mereka, kalaupun ada itu hanya
sebentar dan lalu hilang. Mereka-mereka ini adalah subyek pasif revolusi. Sadar
maupun tidak mereka telah mengadopsi sikap anti-teori. Sikap ini bahaya, dan
dari sudut pandang pelopor ini fatal. Sikap seperti ini tidak pernah bisa
memimpin revolusi apalagi memenangkannya.
Revolusi merupakan pemberontakan spontan dari
massa. Revolusi bisa terjadi oleh berbagai sebab. Bisa terjadi karena
pembusukan politik dari skandal-skandal korupsi; oleh tirani; oleh krisis
ekonomi; dan karenanya revolusi tidak pernah mempunyai tanggal kapan ia bisa
terjadi. Untuk itu mustahil menciptakan secara artifisial situasi yang
melatar-belakangi revolusi. Lewat kontradiksinya kapitalisme menyediakan
seluruh bahan bakar untuk terjadinya revolusi itu sendiri.
Tapi tidak setiap revolusi secara otomatis
mengarah pada kemenangan sosialis. Sejarah membuktikan ini berkali-kali. Bahkan
banyak demonstrasi dan pemogokan besar dalam sejarah yang mampu menggulingkan
sebuah rezim belum mampu menggulingkan sistem kapitalisme. Seperti halnya
Gerakan Reformasi 98’ meskipun massa tumpah ruah di jalanan serta mampu
menggulingkan kediktatoran Soeharto namun masalah kekuasaan masih tertinggal di
belakang. Rezim berganti tapi pondasi kapitalisme masih utuh.