Wednesday, November 27, 2019 0 comments

Bagaimana Memenangkan Revolusi?



Banyak aktivis gerakan yang menginginkan revolusi dan menunggu datangnya peristiwa itu. Namun ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang kesiapan mereka menghadapi revolusi, mereka lantas mundur ke belakang. Mereka tidak membahas ini lebih jauh. Bagi mereka gerakan adalah segalanya. Pertanyaan teori tidak pernah hinggap di kepala mereka, kalaupun ada itu hanya sebentar dan lalu hilang. Mereka-mereka ini adalah subyek pasif revolusi. Sadar maupun tidak mereka telah mengadopsi sikap anti-teori. Sikap ini bahaya, dan dari sudut pandang pelopor ini fatal. Sikap seperti ini tidak pernah bisa memimpin revolusi apalagi memenangkannya.
Revolusi merupakan pemberontakan spontan dari massa. Revolusi bisa terjadi oleh berbagai sebab. Bisa terjadi karena pembusukan politik dari skandal-skandal korupsi; oleh tirani; oleh krisis ekonomi; dan karenanya revolusi tidak pernah mempunyai tanggal kapan ia bisa terjadi. Untuk itu mustahil menciptakan secara artifisial situasi yang melatar-belakangi revolusi.  Lewat kontradiksinya kapitalisme menyediakan seluruh bahan bakar untuk terjadinya revolusi itu sendiri.
Tapi tidak setiap revolusi secara otomatis mengarah pada kemenangan sosialis. Sejarah membuktikan ini berkali-kali. Bahkan banyak demonstrasi dan pemogokan besar dalam sejarah yang mampu menggulingkan sebuah rezim belum mampu menggulingkan sistem kapitalisme. Seperti halnya Gerakan Reformasi 98’ meskipun massa tumpah ruah di jalanan serta mampu menggulingkan kediktatoran Soeharto namun masalah kekuasaan masih tertinggal di belakang. Rezim berganti tapi pondasi kapitalisme masih utuh.
Friday, November 22, 2019 0 comments

Apakah Sosialisme Sudah Gagal?



Semenjak runtuhnya Uni Soviet hampir semua orang mengatakan sosialisme sudah gagal. Krisis di Venezuela juga mendorong banyak orang untuk berteriak bahwa sosialisme tidak dapat bertahan. Dari semua pendapat yang mengalir ini apa yang ingin disampaikan adalah sistem kapitalisme, kendati semua keburukannya, merupakan sistem yang paling mungkin bagi umat manusia. Kejatuhan sosialisme Uni Soviet dianggap sebagai kegagalan dari teori di baliknya, yakni teori Marxisme.
Semenjak itu semua orang berbondong-bondong mencari-cari ‘ide-ide baru’. Mereka terus mencari perpaduan ideologi atau jalan tengah antara sosialisme dan kapitalisme. Dari ini kita mengenal ‘teori baru’ seperti teori Sosialisme Abad 21, yang mengklaim berbeda dengan sosialisme pendahulunya yang ada di Uni Soviet. Adalah Heinz Dieterich seorang sosiolog Frankfurt yang belajar dengan Adorno, Horkheimer dan Habermas yang memperkenalkan teori Sosialisme Abad 21. Heinz Dieterich, sang ‘penemu’ Sosialisme Abad 21, mengklaim bahwa revolusi dan perjuangan kelas sudah tidak lagi dibutuhkan. Dieterich menganggap  jika pasar mampu dijinakkan maka pasar akan memenuhi kebutuhan semua orang.
“Jika pasar tidak monopolistik dan jika Anda memiliki daya beli untuk barang yang Anda hasilkan dan untuk layanan, maka pasar berkoordinasi cukup baik. Anda dapat pergi ke negara raksasa, seperti Amerika Serikat, dan Anda dapat membeli apa saja, di mana saja di negara raksasa itu, kapan saja. Jadi, [pasar] itu berfungsi dengan baik, jika Anda memenuhi dua kondisi ini.” (Rekaman video Heinz Dieterich oleh O. Ressler, Jerman)
Saturday, November 16, 2019 0 comments

BTI dan Warisan-Warisannya



Sekilas Awal Sejarah BTI
Tak seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), atau Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),[1] BTI (Barisan Tani Indonesia) bersama dengan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) menjadi beberapa onderbouw atau organisasi (yang dianggap) terafiliasi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang belum dikaji secara khusus dan menyeluruh sebagai sebuah organisasi nasional, dalam satu karya akademik.[2] Padahal signifikansi pengaruh BTI, khususnya di tahun 1960-an, sama sekali tak bisa disepelekan. Betapa pentingnya peran organisasi tani ini di era itu, tergambar dari keanggotaannya, seperti yang ditulis Karl J. Pelzer,
“Pada bulan Maret 1954, BTI mengklaim bahwa jumlah anggotanya 800.000 orang dan sekitar 2.000.000 orang pada bulan April 1955. Pada waktu pemilihan umum yang diselenggarakan akhir tahun 1955, sekretarian BTI melaporkan bahwa jumlah anggotanya 3.300.000 orang. Pertambahan yang mengagumkan ini disebabkan oleh kampanye yang dilakukan golongan komunis secara gencar sebelum pemilihan umum. Dalam sepuluh tahun berikutnya, BTI mengalami pertambahan keanggoaan yang sangat pesat dan pada tahun 1965 mengklaim bahwa jumlah anggotanya tak kurang dari 8.500.000 orang… Tahun 1965, cabang BTI dapat ditemukan praktis di seluruh kabupaten dan di lebih dari 80 persen kecamatan yang ada di Indonesia”.[3]
Friday, November 8, 2019 0 comments

Pelajaran dari Kekalahan Revolusi Bolivia



Gelombang Revolusi Amerika Latin sekali lagi menerima pukulan telak dengan lengsernya Presiden Bolivia Evo Morales pada 10 November. Jatuhnya Evo Morales adalah kulminasi dari usaha kudeta yang telah bergulir selama beberapa minggu terakhir. Walau bukan untuk pertama kalinya kekuatan reaksi mencoba menggulingkan pemerintahannya, kali ini mereka berhasil. Pembangkangan polisi, penembak jitu yang menembaki buruh tambang, laporan dari OAS (Organisasi Negara-negara Amerika) yang mempertanyakan validitas pemilu, dan akhirnya, jerami yang mematahkan punggung onta, angkatan bersenjata yang meminta agar Evo Morales turun, semua ini menjurus ke babak terakhir dari drama ini.
Ketika artikel ini ditulis, Evo Morales telah menerima suaka politik di Meksiko. Ini jelas karena kekuatan oligarki Bolivia, kaum tuan tanah dan kapitalis, tidak akan memaafkannya dan berniat menjebloskannya ke penjara – bahkan menggantungnya bila perlu – karena telah memimpin Revolusi rakyat pekerja Bolivia yang mempermalukan para tuan-nyonya terhormat ini. Reaksi menginginkan balas dendam yang berdarah-darah.
Kita semua patut, dan harus, bertanya bagaimana Revolusi Bolivia bisa berakhir dengan kekalahan ini. Tidak cukup mengutuk kudeta reaksioner ini. Menjawab pertanyaan ini akan mempersenjatai kita dengan perspektif, strategi dan taktik untuk mematahkan reaksi yang kini tengah menunjukkan taringnya dan siap membatalkan pencapaian-pencapaian besar yang telah diraih oleh rakyat pekerja Bolivia selama dekade terakhir.
Wednesday, November 6, 2019 0 comments

Joker sebagai Musuh Penindas



Joker menjungkirbalikkan konsep film pahlawan super. Bukan hanya dengan menempatkan latar dan muasal lahirnya Joker yang biasanya dijadikan penjahat gila sebagai fokus utama. Namun juga dengan membongkar kedok keluarga Wayne yang biasanya dipoles pencitraan cantik serta meludahi Batman jauh sebelum ia memakai jubah dan topeng. Sekaligus, tentu saja, membalik pakem film, termasuk utamanya menolak jadi bagian waralaba semesta film pahlawan super, atau dalam hal ini: DC Extended Universe (DCEU).
Berbeda dengan Joker-Joker versi lainnya yang identitasnya lahir karena kegilaan. Arthur tidak jadi Joker karena tercebur ke dalam cairan limbah kimia seperti yang diperankan Jack Nicholson. Ia juga tidak menjadi penjahat gila karena terinspirasi sosok Batman yang menghajar penjahat dan mafia, sebagaimana versi Joker yang diperankan Heath Ledger. Tidak. Versi Joaquin Phoenix ini sejak awal sudah mengidap penyakit jiwa atau lebih tepatnya gangguan mental. Ia hanya dicap orang aneh. Barulah setelah ia berusaha melawan balik—atau membalas dendam—ia kemudian (dicap) gila dan lahirlah Joker.
The Magnificient Seven yang terinspirasi Shichinin no Samurai karya Kurosawa Akira punya dialog menarik soal ini. Emma Cullen, seorang petani yang jadi janda karena suaminya dibunuh bandit pemeras desanya mendatangi Sam Chisolm sang gun slinger untuk mengadukan tentang konglomerat pertambangan dibalik para bandit itu dan meminta bantuannya. Emma berkata, “Ia memerintahkan mereka membunuh suamiku, ia akan merampas segalanya yang kami miliki.” “Jadi kau mau balas dendam?” respon Sam. Emma menjawab, “Saya mau keadilan ditegakkan tapi kalau itu tak bisa saya dapatkan maka balas dendam pun akan saya terima.” Inilah intisarinya yang dalam film Joker juga tampak nyata. Mereka yang menutup pintu keadilan akan membuka banjir pembalasan. Mereka yang membuat reformasi damai tidak mungkin akan membuat revolusi dengan kekerasan mungkin terjadi.
 
;