Sunday, December 22, 2019 0 comments

Hari Ibu Antara Domestikasi Perempuan dan Penghormatan Tak Setara



22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu yang diperingati setiap tahun di Indonesia. Berbagai perayaan mulai dari pengucapan terima kasih dan cinta kepada Ibu, pemberian bunga dan atau hadiah-hadiah lainnya, serta kontes kefemininan macam lomba berbusana kebaya, lomba memasak, lomba merangkai bunga, sebenarnya mengandung gagasan seksis. Seksisme adalah diskriminasi, stereotip, dan atau prasangka berdasarkan pembedaan jenis kelamin. Perayaan Hari Ibu demikian mengandung seksisme karena menanamkan gagasan bahwasanya kerja-kerja domestik atau rumah tangga seolah-olah merupakan kodrat perempuan. Perempuan dibebani peran hasil konstruksi sosial untuk menanggung sepenuhnya kerja-kerja rumah tangga (memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, dan semacamnya) serta merawat anak dan suami.
Kerja domestik ini pada dasarnya adalah kerja untuk memproduksi dan mereproduksi tenaga kerja. Ibu—khususnya Ibu rumah tangga—diwajibkan memegang peran dominan mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak seiring dengan diajari keterampilan dan pengetahuan lewat sekolah sampai sang anak siap pakai untuk pasar tenaga kerja. Selain itu, dalam corak produksi kapitalisme, kewajiban Ibu merawat, memberi makan suami, pada dasarnya adalah kerja untuk menyegarkan kembali tenaga kerja yang baru saja dihisap kapitalis dalam satu hari agar siap untuk digunakan dan dihisap lagi hari berikutnya
Kerja domestik begini kemudian diagung-agungkan sebagai kepahlawanan dan pengorbanan kaum Ibu, termasuk lewat perayaan Hari Ibu. Namun pada saat yang bersamaan dengan penekanan demikian maka kapitalisme tidak perlu memberikan fasilitas dan tunjangan kepada kaum Ibu. Kecuali bila dipaksa oleh perjuangan kaum perempuan dan ibu. Sedangkan di sisi lain, perempuan pada umumnya dan kaum Ibu pada khususnya juga dijadikan sasaran pemasaran berbagai komoditas atau produk kapitalisme. Mulai dari produk kosmetik, busana, indutri perbelanjaan, dan sebagainya.
Friday, December 20, 2019 0 comments

Chile, Revolusi telah Dimulai



Demonstrasi besar melanda Chile. Seruan pemogokan umum dihadiri lebih dari satu juta orang. Mereka memenuhi jalanan Chile selama beberapa kali dalam dua bulan terakhir, terutama di Ibukota Santiago. Gerakan pemberontakan ini bermula dari protes terhadap kenaikan tarif transportasi yang dipimpin oleh kaum muda. Dari kampanye penolakan kenaikan ini, sebuah gerakan massa telah berkembang melawan pemerintah yang lalu ditanggapi dengan represi brutal.  
Banyak orang terkejut, karena Chile selama ini dikenal sebagai salah satu negeri paling makmur di Amerika Latin. Barangkali keterkejutan ini juga menghampiri Pinera, sang Presiden, yang baru awal Oktober lalu mengatakan dengan bangga bahwa Chile adalah oase di tengah gejolak sosial yang terjadi di negeri-negeri Amerika Latin. Memang, selama ini Chile dikenal sebagai role model pembangunan negeri di Amerika Latin. Tingkat pertumbuhan ekonominya kuat, kemiskinan yang menurun dan sistem politik yang nampaknya stabil sejak akhir pemerintahan Augusto Pinochet hampir 30 tahun lalu.
Namun bila kita melihat lebih dalam, Chile adalah salah satu negeri yang paling tidak setara didunia. PBB sendiri mengestimasi bahwa 1% warga terkaya di sana menghasilkan sepertiga kekayaan nasional. Komentar-komentar dari kelas menengah dan lapisan bawah kelas pekerja sering kali mengungkap ketimpangan yang berlangsung puluhan tahun antara lain: upah minimum yang rendah, pertumbuhan upah yang lambat, perlindungan serikat yang lemah, sistem pensiun yang diprivatisasi, sistem pendidikan bertingkat yang membuat pelajar miskin berhutang, perumahan yang tidak terjangkau, perawatan kesehatan yang buruk, dan konstitusi yang masih mempertahankan sisa-sisa kekuasaan militer. Belum lagi korupsi yang banyak dilakukan oleh para pejabat. Semua ini menumpuk, bak gunung es yang saat ini meledak. Kebijakan menaikkan tarif transportasi hanyalah pemicu demonstrasi besar ini.
Thursday, December 12, 2019 0 comments

Pemogokan Prancis dan Pelajaran bagi Buruh



Gerakan revolusioner kembali pecah di Prancis. Gerakan ini dalam skala jauh lebih besar dari Gerakan Rompi Kuning karena melibatkan banyak pekerja. Menara Eiffel tutup, 11 dari 16 stasiun kereta bawah tanah serta kereta cepat membatalkan perjalanan, dan bandara yang melayani penerbangan dilaporkan berhenti. Prancis diselimuti keheningan tanpa kelas pekerja. Listrik dimatikan. Rumah, kantor, jalanan dan sekolah tutup. Transpotasi lumpuh saat protes yang dilakukan di seluruh Prancis mengikuti pemogokan umum yang ditujukan untuk menolak reformasi pensiun. Pekerja berpendapat bahwa reformasi yang diusulkan akan membuat mereka bekerja lebih lama untuk pensiun yang lebih kecil.
Pemogokan yang berlangsung sejak 5 Desember telah melumpuhkan transportasi, jalur distribusi dan ekonomi. Pekerja transportasi, guru, pengontrol lalu lintas udara, pemadam kebakaran, dokter dan perawat mogok. Mahasiswa dan pelajar meninggalkan kelas dan bergabung di jalanan bersama pekerja. Kabut gas air mata memenuhi jalanan seiring betrokan yang terjadi antara demonstran dan polisi. Mengantisipasi besarnya pemogokan ini Pemerintah Prancis mengerahkan ribuan polisi tambahan. Di sepanjang rute demontrasi utama kota Paris, toko-toko dan bank-bank tutup. Di Paris 90 orang ditangkap. Macron mengirim mobil lapis baja, meriam air, dan ribuan polisi anti huru-hara bersenjata berat untuk menyerang para pemogok yang berbaris di kota-kota di seluruh Prancis.
Menurut angka resmi pemerintah jumlah pemogokan ini mencapai 615 ribu. Namun menurut serikat buruh CGT, angka ini mencapai tiga kali lipat dari laporan resmi. Lebih dari separuh dari populasi Prancis mendukung atau bersimpati dengan pemogokan ini. Meskipun pejabat dan penyelenggara demo memberikan angka yang saling bertentangan, demonstrasi ini adalah yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak ada ketetapan sebelumnya kapan pemogokan ini diakhiri, namun partisipasi yang meluas dalam pemogokan ini menunjukkan akar ketidakpuasan sosial ini sulit untuk diakhiri.  
Friday, December 6, 2019 0 comments

Marxisme dan Tiga Samurai

 

ANDA mungkin sudah sering mendengar tentang peristiwa penting yang pernah berlangsung dari abad ke-15 sampai abad 16. Mulai dari jatuhnya Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium ke tangan Kekaisaran Turki Ottoman pada 1453, kemenangan Kerajaan Perancis dalam Perang 100 tahun atas Inggris di tahun yang sama, mendaratnya Christopher Columbus di salah satu pantai kepulauan Bahamas pada 1492, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg yang melahirkan Rennaisance, Reformasi Protestan Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma, berkembangnya merkantilisme di Venesia, Genoa dan Pisa, hingga maraknya penggunaan bubuk mesiu untuk meriam dan senapan sundut yang sejak saat itu akan mengubah jalannya sejarah manusia. Namun sepertinya Anda jarang mendengar kisah menarik tentang para samurai selain Seven Samurai atau Rurouni Kenshin.

Kala abad itu dunia bergejolak, Jepang punya dinamika tersendiri, yaitu suatu periode dalam sejarah negeri matahari terbit yang dikenal dengan Sengoku Jidai atau Zaman Negeri yang Berperang. Periode ini ditandai sebagai era paling kacau balau yang dihiasi oleh serangkaian perang saudara antar provinsi tanpa henti. Pertikaian kembali dimulai setelah berakhirnya Perang Onin tahun 1467 yang memporak-porandakan Kyoto dan daerah-daerah disekitarnya. Ketidakberdayaan dan surutnya pamor Keshogunan Ashikaga dimanfaatkan dengan baik oleh para panglima perang samurai dan beberapa klan memperebutkan kekuasaan di pulau itu.

 
;