Thursday, August 30, 2018 0 comments

LUKA TERINDAH


Pergi. Satu kata yang menyulam malam-malamku menjadi sebuah pilu yang menyelimuti dan kelu yang mengunciku dari ingatan tentangmu. Bertahun-tahun, aku jatuh pada ... orang yang sama. Aku tidak pernah tahu mengapa hati rela membatu dan mata rela membuka untuknya—selain kamu. Mungkin, kita adalah sepasang rindu yang takjua dipersatukan takdir. Entah kamu yang tak menyadarinya atau aku ... yang dengan bodohnya percaya bahwa suatu waktu nanti, kita akan dipertemukan kembali dalam situasi berbeda.
Orang yang sama itu adalah kamu. Beberapa waktu berlalu, aku tidak menghitung ini jatuh yang keberapa. Yang pasti, semua rasa tetap utuh seperti pertama kali aku tahu kamu ada. Tapi, mengapa kamu diam saja? Mengapa memilih menjadi sunyi yang kurindukan? Ah, rasanya bodoh sekali, mengatakan bahwa aku untukmu. Kamu tahu, diam adalah keahlian terbaikku. Dengan kediamanku, aku berani untuk bicara denganmu tanpa perlu takut sebuah penolakan. Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, terlebih dirimu. Karena, mungkin, yang salah adalah aku.
Saturday, August 25, 2018 0 comments

Terima Kasih, Telah Menjadi Seseorang Yang Kucintai Begitu Lama


Penantianku sudah berakhir. Aku telah kalah oleh segalanya. Memaki takdir dan merutuki semesta. Sesaat setelah berita kepergianmu sampai di daun jendela kamarku, kupikir sudah tidak ada lagi kemungkinan yang bisa Takdir sisakan untukku. Kamu sudah memilih seseorang untuk mendampingi hidupmu.
Dan itu bukan aku.
            Sesungguhnya aku tidak pernah percaya sampai akhirnya dari sebuah laman di dunia maya, aku menatap senyummu yang kamu labuhkan pada lelaki lain itu—seharusnya aku yang berdiri di sana menyematkan cincin di jemari manismu. Seperti wajahmu di hari itu, yang penuh cahaya. Sementara kelabu mulai menyelimuti tubuhku.
Tuesday, August 21, 2018 0 comments

DI SINI, AKU MEMBUNUH SEPI


Malam ini langit redup tanpa bulan dan bintang. Gerimis turun menghantarkan petrikor. Persis  malam  itu, suatu hari di bulan Maret. Pertama kita bertemu di kedai kopi milikmu. Kita saling tersipu, ingin menatap lebih lama tapi pandangan harus dijaga. Setelah mati rasa yang begitu lama. Bertemu kamu membuat degup dadaku kembali kehilangan ritmenya. Gerimis selalu jadi tanda, ada jiwa-jiwa yang teriris. Seperti kata, yang mampu mewakili segalanya. Bahagia dan kesedihan. Perpisahan dan pertemuan. Ketika beberapa baris yang basah oleh air mata, bermuara pada sebuah samudra—yang ternyata mengalir deras di matamu. Tepat, ketika kita mulai menyebut nama masing-masing, lalu mencoba untuk menguasai debar jantung yang mulai berirama beda.
Kehangatan kedai kopimu meresap dalam dada. Kemudian jemariku tanpa sadar mulai menjejak beberapa kata.  Aku dilanda cinta. Sepertinya semesta turut merestui rasa yang sedang merekah di antara kita. Lewat prosa kita sama-sama menyisipkan semoga. Ada keyakinan besar kita akan bersama, meski entah bagaimana cara-Nya. Sebab di sepasang matamu, aku menemukan segalanya, Puan. Setelah perpisahan di masa lalu jatuh sebagai hujan, kaudatang sebagai payung—menawariku keteduhan. Dan di pelukan waktu, kita tumbuh bersama dalam katakata. Sampai ternyata, jarak yang bentang telah terlipat rapi. Di sini, aku membunuh sepi. Di sana, kau bisa saja memberiku nyawa lagi.
Monday, August 20, 2018 0 comments

BERSABARLAH, TUHAN SEDANG MENGUJIMU


Pandangan pertamaku tentangnya, menjadi cinta yang tak berkesudahan, membangun kokoh gedung pengharapan, berpondasi percaya akan takdir Tuhan. Duhai sahabatku, bukankah itu pertanda bahwa ada satu-dua orang yang bisa memberimu bahagia—pada apa yang kaupercaya dari hati? Separuh hati telah kutinggalkan padanya, dan tersisa separuh lagi yang sedang kujaga, aku percaya, dia akan kembali dengan rasa yang sama—cinta pada pandangan pertama.
Satu hal yang harus kauketahui; perasaan yang kautanam akan berbuah di waktu yang tepat—pertanyaan yang lahir ialah perihal bagaimana cara kau memupuk dan waktu yang dibutuhkan untuk menjadikannya tumbuh subur sebagai pasangan di masa depan. Sewindu telah berlalu,  pesan suara yang terakhir kali kulayangkan—perihal kabar dan kepastian—menghamburkan pupuk dan waktu yang kubutuhkan, dia semakin menjauh, tapi tidak dengan rasa yang kupegang teguh; hingga saat ini. Apa yang terjadi? Apakah takdir sedang menguji dengan satu-dua sakit hati? Atau memang segalanya telah membuat hatimu patah tak tersembuhkan?
Tuesday, August 14, 2018 0 comments

Agustus Yang Berbeda


Kembali. Langkah itu yang menjadi pilihan kala harapan sudah lama mengepakkan sayapnya, menerabas dinding-dinding dingin awan yang menanti jatuh sebagai hujan, menembus ruang tanpa udara; harapan itu hidup sebagai ketiadaan sebagaimana udara di luar angkasa.
Setiap orang pernah terjatuh begitu dalam hingga ia takmampu melihat apa pun selain akhir. Ketika cahaya yang hidup di bola mata semakin malam, semakin pekat dan rembulan enggan kembali singgah di sana. Dan ketika masa itu datang, ia sadar bahwa kehidupan takubahnya sebagai permainan waktu: membakar kenangan jadi abu, menyapu setiap rasa bahagia dengan ragu, dan menderaskan hujan.
Saturday, August 11, 2018 0 comments

Seharusnya Aku Bahagia Malam Itu


Baik-baik saja.
Konsep kosong. Segalanya tidak akan berjalan semestinya selama hujan terus menderas. Seperti kenangan yang tidak pernah tandas. Selalu berkelindan. Mungkin menunggu badai bernama penyesalan yang membuatnya kandas. Ayah, Ibu, kekasih. Mereka sama saja. Ada lalu tiada. Tiga tahun aku terus memanggil mereka kala malam tiba, kala segala kesendirian memelukku erat. Tidak, sapuan ombak yang menggulung rumahku telah menenggelamkan seluruh kebahagiaan yang kumiliki.
Seharusnya aku bahagia di malam itu. Seharusnya aku akan menjadi lelaki paling beruntung malam itu. Kekasihku mengiyakan lamaran dan ia berkunjung ke rumah bertemu Ayah dan Ibu. Kami berjanji akan menatapi pantai yang hanya berjarak lima belas menit dari rumah dan memandangi senja di sana sebelum bertemu dengan Ayah dan Ibu.
“Kamu kenapa gugup begitu?”
Saturday, August 4, 2018 0 comments

Tanpa Detik Dan Tanggal


Aku mencintaimu seperti berdiri di peron kereta tanpa detik dan tanggal. Menantikan kepulangan yang takjua ditemukan. Aku mencintaimu karena ketidaksempurnaan yang kelak akan menyempurnakan kelemahanku. Saat separuh diri masing-masing dipersatukan dan melahirkan rasa bahagia yang diam di samudra mata kita. Yang diam di segara rasa paling dalam.
Aku mencintaimu seperti mencintai kesendirianku. Saat tersisih dari keramaian dan meringkuk di dalam kegelapan sembari menumpahkan segala hujan yang takkuat ditampung oleh celung mata. Hujan yang kemudian melebur bersama tangisan langit, melahirkan sesak-sesak yang mengaliri kesepian.
Kehadiranmu seperti sebuah cahaya di tengah kegelapan itu. Saat kupikir mungkin hidup akan lebih baik jika tidak ada kehangatan sama sekali. Hujan setiap hari. Dan apa yang terlihat oleh mata hanyalah kepergian dan kesendirian bertubi-tubi. Saat rasanya jemariku bergemetar hebat, seakan setiap sesak di dalam dada mengalir hebat ke jemariku itu, lalu melahirkan kata-kata melalui goresan pena. Dan kamulah, gadis yang mencintai kata-kata itu.
Aku mencintaimu meskipun pertemuan tak jua ditakdirkan oleh Tuhan. Aku mencintaimu dalam doa yang dilangitkan di sepertiga malam. Dalam resap dan senyap di malam yang kian dingin.
Aku mencintaimu karena sejauh apa pun aku berjalan sendirian, kelak akan kutemukan kamu di ujung sana menungguku.
 
;