Kekasih, aku pernah
menyimpan sepotong kenangan di balik bingkai matamu yang teduh dan basah - yang
lantas gugur satu-satu bersama waktu. Sampai akhirnya aku berhenti melangkah.
Sampai akhirnya, aku hanya menitipkan sekumpulan kata di jendela kamarmu. Kata
yang kunamakan Aksara Hujan.
Menderu, parau kata-kata itu di sekujur tubuhku, setelah waktu demi waktu yang panjang; kukira kita telah lama hilang, sebab di sepasang
lengan seseorang kau akan menempuh perjalanan panjang. Namun di sana, cinta hanya
mementaskan tawa yang fana. Meremukkan segala padaku yang tersisa. Dan
kini aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan hati untuk memercayai kembali.
Di sanalah aku menjaga asa - cinta yang kau anggap fana dan remukkan
perasaan dari sebuah kata pergi. Setiap sesak dan lelah. Kini, melalui
kata-kata itu, aku menghidupkan jasad kenangan yang telah mati; yang telah baur
di udara menjadi abu. Aku menghidupkan segala yang telah kubunuh ketika di
sebuah persimpangan jalan, lelah itu bermuara pada kalah. Jalan di mana, kini
aku melihatmu kembali berdiri di salah satu sisinya. Haruskah aku kembali
memungut rindu yang telah gugur itu?