Monday, September 4, 2017

AGAMA SASTRA


Sastra-ungkapan hati soal hakikat keadaan yang dituangkan dalam kata-kata ataupun tindakan yang penuh romantisme-memang mampu mengguncang kehidupan. Karena berawal dari sastra lah kita kan menemukan filsafat dan ilmu pengetahuan. Coba perhatikan bagaimana Homer menceritakan kisah Troya yang akhirnya menjadi sejarah tak terbantahkan ketika kota tersebut ditemukan reruntuhannya di pesisir Turki. Lalu seberapa pentingkah sastra kita ini? bagi para sastrawan, sastra adalah suatu agama yang mampu mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Dalam dunia kata-kata yang bermakna dalam, kita bukanlah Islam, Kristen, Yahudi, ataupun Hindu dan Buddha karena agama-agama tersebut mempunyai klaim kebenaran absolut yang tak terinterpretasikan secara vulgar karena ada hukum Tuhan yang melarangnya. Agama-agama itu membatasi kita dalam mengungkapkan segala hal yang perlu diungkapkan karena kita takut akan neraka dan menginginkan surga.
Bukan surga itu yang kita inginkan, surga yang masih berbentuk khayalan para agamawan. Namun, surga kata-kata yang kita ciptakan sehingga membuat orang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Bukan neraka itu yang kita takutkan, tetapi sebuah neraka yang membunuh kata-kata para sastrawan sehingga ia mampu tuk berkata “ketahuilah bahwa di alam kubur suaraku akan lebih lantang”. Agama itu cukuplah disimpan sebagai bentuk hubungan intim kita dengan Tuhan. Bagi kita, kebenaran yang absolut hanyalah milik para pengarang. Namun, kebenaran itu bisa berupa kebenaran parsial ketika ia diinterpretasikan oleh para penikmat karena sastra adalah hal yang paling universal yang pernah kita kenal.

Dari sastra lah kita mengenal rasa penasaran dan rasa keraguan sehingga menciptakan filsafat serta ilmu. Tetapi sebagian besar dari kita terjebak dalam anasir ideologi serta agama yang membuat kita tidak bebas menginterpretasikan rasa penasaran kita. Inilah yang membuat pemikiran kita mati! Yang kita butuhkan adalah dunia kebebasan untuk berkarya karena hal yang demikian menuntun kita kepada kebenaran. Agama sastra tidak menuntut orang tersebut untuk mengerjakan perintah dan menjauhi larangan atau mengenal anasir halal haram. Yang diinginkan sastra adalah suatu kebenaran yang bermakna dan tercatat dalam kata-kata. Walau kita sama-sama mengetahui bahwa kata-kata ternyata tidak sebanyak makna yang ada.
Rukun Sastra
Rukun sastra bukanlah sebuah aturan yang mengikat para sastrawan sehingga ia tidak bebas mengeluarkan pendapat. Rukun sastra adalah suatu identitas bagi para sastrawan. Rukun sastra hanya mempunyai 2 komponen yaitu karya dan ungkapan. Bagi para sastrawan, keduanya adalah hal pokok yang membuat kita berbeda dari yang lainnya. Kedua hal tersebut lah yang menyatukan kita dalam satu agama yang sungguh bebas ini. Rukun kita tidak menuntut kita untuk menyembah satu Tuhan atau tidak karena bagi sastra-apakah engkau berTuhan ataupun tidak bukanlah merupakan suatu masalah-itu semua adalah sebuah pilihan individual yang tak terbantahkan. Disinilah letak hak asasi sastra yang kita junjung tinggi melebihi hak asasi manusia. Karena ternyata hak asasi manusia pun dibatasi oleh aturan Universal Declaration of Human Rights dari PBB.
Bagi para sastrawan, karya adalah esensi utama yang harus tergambar dalam realita. Karya adalah wujud nyata dari seorang sastrawan. Karya yang membuat kita akhirnya muncul di dunia. Seperti kata Descartes, cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada! Esensi dari pernyataan tersebut adalah bahwa ide yang dituangkan menjadi sebuah karya ialah suatu bagian dari bentuk penciptaan makhluk-makhluk. Bagian lainnya ialah memunculkan suatu eksistensi yang direalisasikan dengan suatu kenangan. Kenangan sendiri muncul karena karya. Inilah rukun sastra yang paling utama yang patut kita pahami.
Sedangkan ungkapan ialah esensi yang lahir dari pemikiran lalu nantinya kan dituangkan dalam karya. Dalam arti yang sebenarnya, ungkapan atau ide mempunyai makna yang sangat mirip. Letak perbedaan dari keduanya ialah persoalan bahwa ungkapan perlu tuk melibatkan hak emosional seseorang untuk diwujudkan. Ide hanyalah suatu substansi yang tidak dikeluarkan berdasarkan faktor emosional, melainkan karena faktor keharusan karena adanya gambaran realita yang menuntut hal itu harus dikeluarkan.

Ibadah Sastra
Rukun sastra yang menjadi identitas dari para sastrawan akhirnya menuntun kita untuk melakukan ibadah-ibadah sastra yang bukanlah suatu kewajiban atau sunnah, melainkan mubah. Maka dari itu, seorang sastrawan hanya akan melakukan ibadah sastra ketika ia akan menginginkannya. Ketika ia berbicara soal ungkapan dan mengekspresikannya dengan karya, maka ia pasti kan melakukan ibadah sastra.
Ungkapan yang dimaksud ialah ketika para sastrawan mencapai ego dalam waktu yang pas sehingga apa yang dihasilkannya (karya) mempunyai esensi yang melebihi daripada arti suatu kata. Karena berkali-kali kita menyebutkan bahwa kandungan makna lebih banyak dari kata-kata itu sendiri. Ibadah yang dimaksud membuat sastra menjadi sesuatu yang sangat simple untuk diikuti karena hanya menyangkut melankolia seseorang, walau dalam beberapa hal kita menuntut nalar untuk menjelaskan bagaimana makna itu bisa terbentuk. Disini kita memerlukan pemahaman psikologi yang mantap karena beberapa jenis karya termasuk mantra butuh pemahaman kepribadian sastrawan untuk membentuk maknanya. Maka dari itu, bukan suatu hal yang mengagetkan ketika mantra mempunyai beragam makna subjektif tergantung penafsiran dari individunya. Tetapi makna yang sebenarnya hanya dimiliki oleh pengarang. Inilah yang menjadi kekuatan makna karena pengarang selalu benar dalam karyanya.

Dosa dan Pahala Sastra
Jika kita berbicara soal dosa dan pahala, maka kita akan membicarakan apa yang dilarang oleh sastra dan apa yang diperintahkan oleh sastra. Tetapi, sastra tidaklah mempunyai larangan yang berarti ataupun tidak mempunyai hukum transenden yang membuat sastra mengklaim kebenaran mutlak. Namun, sastra mempunyai transendensi tersendiri yang juga bersifat imanen ketika berhubungan dengan interpretasi dan penulisan. Mengapa imanen? Karena sastra menuntut kita kepada suatu kepercayaan yang suci. Kepercayaan yang dimaksud ialah bagaimana kita mengapresiasi suatu karya berdasarkan kehidupan si pengarang. Maksudnya ialah, karya mengandung suatu substansi yang harus dipercaya karena kebenaran tersebut hanya milik pengarang. Disinilah yang membuat sastra menjadi menarik karena baik dosa maupun pahala sastra tidak begitu menjadi penting ketika imanen tersebut telah tertanam dalam setiap jiwa apresiator.

Namun, yang perlu diperhatikan disini ialah ketika kita berhadapan pada dosa sastra. Dosa sastra yang terbesar ialah pagiasi karena hal tersebut membunuh kreativitas si pengarang ataupun si plagiator. Ini adalah suatu hal yang paling menggelikan karena ketika plagiasi berhasil merasuki jiwa si pengarang maka-baik karya maupun ungkapan yang keluar dari hatinya-tidaklah murni milik pengarang dan ini menimbulkan ketidakpercayaan dari pihak apresiator. Alhasil, dosa tersebut menuntut hukuman yang pantas bagi para penikmatnya. Salah satu hukuman tersebut ialah sanksi sosial dan juga sanksi moral. Sedangkan, dosa yang teringan ialah ketika kita menyelewengkan makna karena ketidaktahuan kita terhadap arti dari tiap kata. Mungkin dosa ini adalah yang paling diampuni oleh para sastrawan lainnya. Namun, kita perlu memperbaiki dosa tersebut dengan banyak mempelajari semantika dari tiap kata yang ada ataupun semiotika dari simbol yang ada.
Bagi yang memahami sastra dengan baik maka ganjarannya ialah pahala. Namun pahala sastra bukanlah seperti pahala dalam agama pada umumnya karena pahala yang demikian bersifat sangat idealis. Pahala yang dimaksud ialah berupa apresiasi dan juga ketenangan. Apresiasi positif akan didapat oleh sastrawan atas karyanya yang benar-benar tulus dari ungkapan hatinya. Sedangkan, ketenangan adalah sikap yang akan dicapai ketika karya tersebut telah terwujud secara realita. Ketenangan itu akan mempengaruhi perjalanan hidup si pengarang (walaupun sebenarnya perjalanan tersebut berliku-liku) yang statis menjadi dinamis dan yang monoton menjadi berwarna. Dinamis tidaklah berliku-liku karena dinamis berarti penuh dengan pola yang dialektis sedangkan berliku-liku menjadi suatu bentuk kebosanan hidup karena ia bersifat statis walaupun tidak berpola.

Penutup
Sastra bukanlah alat analisa, bukanlah sebuah tempat bersandar bagi jiwa yang lelah. Terlebih lagi, sastra bukanlah suatu boneka yang bisa dipermainkan karena sebegitu baiknya ia kepada manusia. Sastra adalah suatu bentuk agama yang diminati oleh para sastrawan karena ia bersifat menjanjikan hal yang pasti dan tidak mempunyai klaim kebenaran yang mutlak, melainkan bahwa kebenaran hanyalah milik para pengarang. Soal interpretasi sendiri adalah hak apresiator ataupun penikmat dan hal tersebut tidak mengganggu makna sebenarnya yang dikandung oleh karya si pengarang.
Sastra memiliki dua rukun penting yang patut dipahami oleh setiap individu yang menggelutinya yaitu karya dan ungkapan. Keduanya saling melengkapi dan berkaitan, walau tidak secara dialektis namun logis. Karena itulah rukun sastra menjadi hal yang sangat unik Karena keduanya akan menuntun kita kepada bagaimana cara kita berlaku secara sastra (ibadah sastra). Rukun sastra menjadi dasar dari segala apa yang nantinya kita akan lakukan dalam dunia sastra.
Ibadah sastra sendiri merupakan salingketerkaitan antara ungkapan dengan karya, ekspresi sastra, serta apresiasi sastra. Sedangkan, interpretasi sendiri merupakan bagian dari ekspresi yang diungkapkan oleh si pengarang maupun si penikmat. Salingketerkaitan antara ungkapan dengan karya maksudnya ialah menciptakan sinkronisasi antara makna dengan kata untuk menciptakan apresiasi yang positif. Ekspresi sastra sendiri menjadi hak yang transenden dari setiap individu yang terikat dan terlibat dalam sastra. Ekspresi sastra memerlukan pemahaman yang mendalam soal sastra itu sendiri. Sedangkan apresiasi sastra menjadi hak prerogatif dari penikmat yang menikmati karya. Namun apresiasi haruslah bersifat objektif sehingga ia tidak mengganggu makna yang sebenarnya dari karya. Dosa terbesar sastra ialah plagiasi dan dosa teringan sastra ialah ketidaksinkronan antara makna dengan karya. Dosa yang terberat mempunyai sanksi moral maupun sosial dan dosa yang teringan perlu diperbaiki dengan mempelajari hakikat sastra secara mendalam. Sedangkan, pahala sastra bersifat sangat imanen, yaitu berupa apresiasi positif dari para penikmat sastra.
Begitulah sastra yang akhirnya mewujud pada suatu bentuk agama yang harus dianut oleh para sastrawan agar mereka bisa memasuki dunia sastra secara kaffah. Agama sastra tidak mengganggu dari hubungan intim antara Tuhan dengan manusia (dalam hal ini disebut agama dalam artian umum) karena ia mempunyai interaksi antar individu, atau interaksi antar individu dengan alamnya. Sinergi tersebut akhirnya membuat dunia sastra sangat indah untuk dinikmati. Inilah surga yang sebenarnya. Sedangkan, neraka sastra hanya untuk para sastrawan yang terkena sanksi akibat dosa yang ia perbuat.

0 comments:

Post a Comment

 
;