Sastra-ungkapan hati soal hakikat keadaan yang
dituangkan dalam kata-kata ataupun tindakan yang penuh romantisme-memang mampu
mengguncang kehidupan. Karena berawal dari sastra lah kita kan menemukan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Coba perhatikan bagaimana Homer menceritakan
kisah Troya yang akhirnya menjadi sejarah tak terbantahkan ketika kota tersebut
ditemukan reruntuhannya di pesisir Turki. Lalu seberapa pentingkah sastra kita
ini? bagi para sastrawan, sastra adalah suatu agama yang mampu mengubah cara
pandang kita terhadap dunia. Dalam dunia kata-kata yang bermakna dalam, kita
bukanlah Islam, Kristen, Yahudi, ataupun Hindu dan Buddha karena agama-agama
tersebut mempunyai klaim kebenaran absolut yang tak terinterpretasikan secara
vulgar karena ada hukum Tuhan yang melarangnya. Agama-agama itu membatasi kita
dalam mengungkapkan segala hal yang perlu diungkapkan karena kita takut akan
neraka dan menginginkan surga.
Bukan surga itu yang kita inginkan, surga yang masih
berbentuk khayalan para agamawan. Namun, surga kata-kata yang kita ciptakan
sehingga membuat orang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Bukan neraka itu
yang kita takutkan, tetapi sebuah neraka yang membunuh kata-kata para sastrawan
sehingga ia mampu tuk berkata “ketahuilah bahwa di alam kubur suaraku akan
lebih lantang”. Agama itu cukuplah disimpan sebagai bentuk hubungan intim kita
dengan Tuhan. Bagi kita, kebenaran yang absolut hanyalah milik para pengarang.
Namun, kebenaran itu bisa berupa kebenaran parsial ketika ia diinterpretasikan
oleh para penikmat karena sastra adalah hal yang paling universal yang pernah
kita kenal.
Dari sastra lah kita mengenal rasa penasaran dan rasa
keraguan sehingga menciptakan filsafat serta ilmu. Tetapi sebagian besar dari
kita terjebak dalam anasir ideologi serta agama yang membuat kita tidak bebas
menginterpretasikan rasa penasaran kita. Inilah yang membuat pemikiran kita
mati! Yang kita butuhkan adalah dunia kebebasan untuk berkarya karena hal yang
demikian menuntun kita kepada kebenaran. Agama sastra tidak menuntut orang
tersebut untuk mengerjakan perintah dan menjauhi larangan atau mengenal anasir
halal haram. Yang diinginkan sastra adalah suatu kebenaran yang bermakna dan
tercatat dalam kata-kata. Walau kita sama-sama mengetahui bahwa kata-kata
ternyata tidak sebanyak makna yang ada.
Rukun Sastra
Rukun sastra bukanlah sebuah aturan yang mengikat para
sastrawan sehingga ia tidak bebas mengeluarkan pendapat. Rukun sastra adalah
suatu identitas bagi para sastrawan. Rukun sastra hanya mempunyai 2 komponen
yaitu karya dan ungkapan. Bagi para sastrawan, keduanya adalah hal pokok yang
membuat kita berbeda dari yang lainnya. Kedua hal tersebut lah yang menyatukan
kita dalam satu agama yang sungguh bebas ini. Rukun kita tidak menuntut kita
untuk menyembah satu Tuhan atau tidak karena bagi sastra-apakah engkau berTuhan
ataupun tidak bukanlah merupakan suatu masalah-itu semua adalah sebuah pilihan
individual yang tak terbantahkan. Disinilah letak hak asasi sastra yang kita
junjung tinggi melebihi hak asasi manusia. Karena ternyata hak asasi manusia
pun dibatasi oleh aturan Universal Declaration of Human Rights dari PBB.
Bagi para sastrawan, karya adalah esensi utama yang
harus tergambar dalam realita. Karya adalah wujud nyata dari seorang sastrawan.
Karya yang membuat kita akhirnya muncul di dunia. Seperti kata Descartes,
cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada! Esensi dari pernyataan tersebut
adalah bahwa ide yang dituangkan menjadi sebuah karya ialah suatu bagian dari
bentuk penciptaan makhluk-makhluk. Bagian lainnya ialah memunculkan suatu
eksistensi yang direalisasikan dengan suatu kenangan. Kenangan sendiri muncul
karena karya. Inilah rukun sastra yang paling utama yang patut kita pahami.
Sedangkan ungkapan ialah esensi yang lahir dari
pemikiran lalu nantinya kan dituangkan dalam karya. Dalam arti yang sebenarnya,
ungkapan atau ide mempunyai makna yang sangat mirip. Letak perbedaan dari
keduanya ialah persoalan bahwa ungkapan perlu tuk melibatkan hak emosional
seseorang untuk diwujudkan. Ide hanyalah suatu substansi yang tidak dikeluarkan
berdasarkan faktor emosional, melainkan karena faktor keharusan karena adanya
gambaran realita yang menuntut hal itu harus dikeluarkan.
Ibadah Sastra
Rukun sastra yang menjadi identitas dari para
sastrawan akhirnya menuntun kita untuk melakukan ibadah-ibadah sastra yang
bukanlah suatu kewajiban atau sunnah, melainkan mubah. Maka dari itu, seorang
sastrawan hanya akan melakukan ibadah sastra ketika ia akan menginginkannya.
Ketika ia berbicara soal ungkapan dan mengekspresikannya dengan karya, maka ia
pasti kan melakukan ibadah sastra.
Ungkapan yang dimaksud ialah ketika para sastrawan
mencapai ego dalam waktu yang pas sehingga apa yang dihasilkannya (karya)
mempunyai esensi yang melebihi daripada arti suatu kata. Karena berkali-kali
kita menyebutkan bahwa kandungan makna lebih banyak dari kata-kata itu sendiri.
Ibadah yang dimaksud membuat sastra menjadi sesuatu yang sangat simple untuk
diikuti karena hanya menyangkut melankolia seseorang, walau dalam beberapa hal kita
menuntut nalar untuk menjelaskan bagaimana makna itu bisa terbentuk. Disini
kita memerlukan pemahaman psikologi yang mantap karena beberapa jenis karya
termasuk mantra butuh pemahaman kepribadian sastrawan untuk membentuk maknanya.
Maka dari itu, bukan suatu hal yang mengagetkan ketika mantra mempunyai beragam
makna subjektif tergantung penafsiran dari individunya. Tetapi makna yang
sebenarnya hanya dimiliki oleh pengarang. Inilah yang menjadi kekuatan makna
karena pengarang selalu benar dalam karyanya.
Dosa dan Pahala
Sastra
Jika kita berbicara soal dosa dan pahala, maka kita
akan membicarakan apa yang dilarang oleh sastra dan apa yang diperintahkan oleh
sastra. Tetapi, sastra tidaklah mempunyai larangan yang berarti ataupun tidak
mempunyai hukum transenden yang membuat sastra mengklaim kebenaran mutlak.
Namun, sastra mempunyai transendensi tersendiri yang juga bersifat imanen
ketika berhubungan dengan interpretasi dan penulisan. Mengapa imanen? Karena
sastra menuntut kita kepada suatu kepercayaan yang suci. Kepercayaan yang
dimaksud ialah bagaimana kita mengapresiasi suatu karya berdasarkan kehidupan
si pengarang. Maksudnya ialah, karya mengandung suatu substansi yang harus
dipercaya karena kebenaran tersebut hanya milik pengarang. Disinilah yang membuat
sastra menjadi menarik karena baik dosa maupun pahala sastra tidak begitu
menjadi penting ketika imanen tersebut telah tertanam dalam setiap jiwa
apresiator.
Namun, yang perlu diperhatikan disini ialah ketika
kita berhadapan pada dosa sastra. Dosa sastra yang terbesar ialah pagiasi
karena hal tersebut membunuh kreativitas si pengarang ataupun si plagiator. Ini
adalah suatu hal yang paling menggelikan karena ketika plagiasi berhasil
merasuki jiwa si pengarang maka-baik karya maupun ungkapan yang keluar dari
hatinya-tidaklah murni milik pengarang dan ini menimbulkan ketidakpercayaan
dari pihak apresiator. Alhasil, dosa tersebut menuntut hukuman yang pantas bagi
para penikmatnya. Salah satu hukuman tersebut ialah sanksi sosial dan juga
sanksi moral. Sedangkan, dosa yang teringan ialah ketika kita menyelewengkan
makna karena ketidaktahuan kita terhadap arti dari tiap kata. Mungkin dosa ini
adalah yang paling diampuni oleh para sastrawan lainnya. Namun, kita perlu
memperbaiki dosa tersebut dengan banyak mempelajari semantika dari tiap kata
yang ada ataupun semiotika dari simbol yang ada.
Bagi yang memahami sastra dengan baik maka ganjarannya
ialah pahala. Namun pahala sastra bukanlah seperti pahala dalam agama pada
umumnya karena pahala yang demikian bersifat sangat idealis. Pahala yang
dimaksud ialah berupa apresiasi dan juga ketenangan. Apresiasi positif akan
didapat oleh sastrawan atas karyanya yang benar-benar tulus dari ungkapan
hatinya. Sedangkan, ketenangan adalah sikap yang akan dicapai ketika karya tersebut
telah terwujud secara realita. Ketenangan itu akan mempengaruhi perjalanan
hidup si pengarang (walaupun sebenarnya perjalanan tersebut berliku-liku) yang
statis menjadi dinamis dan yang monoton menjadi berwarna. Dinamis tidaklah
berliku-liku karena dinamis berarti penuh dengan pola yang dialektis sedangkan
berliku-liku menjadi suatu bentuk kebosanan hidup karena ia bersifat statis
walaupun tidak berpola.
Penutup
Sastra bukanlah alat analisa, bukanlah sebuah tempat
bersandar bagi jiwa yang lelah. Terlebih lagi, sastra bukanlah suatu boneka
yang bisa dipermainkan karena sebegitu baiknya ia kepada manusia. Sastra adalah
suatu bentuk agama yang diminati oleh para sastrawan karena ia bersifat
menjanjikan hal yang pasti dan tidak mempunyai klaim kebenaran yang mutlak,
melainkan bahwa kebenaran hanyalah milik para pengarang. Soal interpretasi
sendiri adalah hak apresiator ataupun penikmat dan hal tersebut tidak
mengganggu makna sebenarnya yang dikandung oleh karya si pengarang.
Sastra memiliki dua rukun penting yang patut dipahami
oleh setiap individu yang menggelutinya yaitu karya dan ungkapan. Keduanya
saling melengkapi dan berkaitan, walau tidak secara dialektis namun logis.
Karena itulah rukun sastra menjadi hal yang sangat unik Karena keduanya akan
menuntun kita kepada bagaimana cara kita berlaku secara sastra (ibadah sastra).
Rukun sastra menjadi dasar dari segala apa yang nantinya kita akan lakukan
dalam dunia sastra.
Ibadah sastra sendiri merupakan salingketerkaitan
antara ungkapan dengan karya, ekspresi sastra, serta apresiasi sastra.
Sedangkan, interpretasi sendiri merupakan bagian dari ekspresi yang diungkapkan
oleh si pengarang maupun si penikmat. Salingketerkaitan antara ungkapan dengan
karya maksudnya ialah menciptakan sinkronisasi antara makna dengan kata untuk
menciptakan apresiasi yang positif. Ekspresi sastra sendiri menjadi hak yang
transenden dari setiap individu yang terikat dan terlibat dalam sastra.
Ekspresi sastra memerlukan pemahaman yang mendalam soal sastra itu sendiri.
Sedangkan apresiasi sastra menjadi hak prerogatif dari penikmat yang menikmati
karya. Namun apresiasi haruslah bersifat objektif sehingga ia tidak mengganggu
makna yang sebenarnya dari karya. Dosa terbesar sastra ialah plagiasi dan dosa
teringan sastra ialah ketidaksinkronan antara makna dengan karya. Dosa yang
terberat mempunyai sanksi moral maupun sosial dan dosa yang teringan perlu
diperbaiki dengan mempelajari hakikat sastra secara mendalam. Sedangkan, pahala
sastra bersifat sangat imanen, yaitu berupa apresiasi positif dari para
penikmat sastra.
Begitulah sastra yang akhirnya mewujud pada suatu
bentuk agama yang harus dianut oleh para sastrawan agar mereka bisa memasuki
dunia sastra secara kaffah. Agama sastra tidak mengganggu dari hubungan intim
antara Tuhan dengan manusia (dalam hal ini disebut agama dalam artian umum)
karena ia mempunyai interaksi antar individu, atau interaksi antar individu
dengan alamnya. Sinergi tersebut akhirnya membuat dunia sastra sangat indah
untuk dinikmati. Inilah surga yang sebenarnya. Sedangkan, neraka sastra hanya
untuk para sastrawan yang terkena sanksi akibat dosa yang ia perbuat.
0 comments:
Post a Comment