DALAM riuh rendah perdebatan sosial politik menjelang
pemilihan umum 2019 ini, salah satu tema yang menjadi perbincangan cukup serius
adalah isu lingkungan hidup. Dalam debat pasangan calon presiden dan wakil
presiden, jual beli serangan satu kubu terhadap kubu yang lain juga menyangkut
persoalan ketimpangan kepemilikan lahan di beberapa wilayah (kebanyakan di
Pulau Sumatera dan Kalimantan). Setiap capres-cawapres berupaya mempersalahkan
paslon lain atas ketidakadilan dalam kepemilikan dan pengelolaan lahan
tersebut. Para penonton, pemirsa, pendengar, pembaca, dan pendukung bersorak
sorai setelah paslon dukungannya berhasil memaparkan data-data lahan milik
paslon lawan di depan publik.
Sayangnya, tidak banyak orang memahami bahwa pemilu
hanyalah skenario politik pembohongan yang sistematik tentang realitas
ketidakadilan struktural. Hanya sedikit dari warga negara Indonesia yang
mengetahui betapa besar ketimpangan kepemilikan lahan, bukan antara kubu paslon
yang satu dengan paslon yang lain, melainkan antara dua kubu paslon dengan
masyarakat lokal yang kian tersisih. Sangat sedikit warga yang memahami
aksi ngibul di panggung sandiwara debat pilpres sebagai upaya
menutupi kenyataan bahwa kedua kubu paslon sama-sama merupakan tuan atas tanah
yang jumlahnya berhektar-hektar di Kalimantan dan Sumatera.