Wednesday, October 30, 2019 0 comments

Mengapa Revolusi?



Pertanyaan mengenai revolusi merupakan pertanyaan yang menarik, tidak hanya bagi kaum revolusioner tapi juga bagi rakyat pekerja. Di tengah krisis yang semakin tajam, banyak orang berusaha mencari  jawaban mengenai apa itu revolusi, apa karakter revolusi dari zaman sekarang, dan bagaimana cara mencapainya. Revolusi sering kali digambarkan dengan kekerasan, penjarahan, dan kekacauan massa. Kendati dalam revolusi ada kekacauan massa, tapi tidak semua kekacauan massa dan kekerasan adalah esensi revolusi itu sendiri.
Di sisi yang lain ada juga yang mengaitkan revolusi sebagai perubahan-perubahan ‘radikal’ dalam batas sistem yang ada. Semisal terma-terma Revolusi Mental, Revolusi Budaya, Revolusi Birokrasi dsb. yang begitu akrab di masyarakat. Bagi kaum revolusioner revolusi merupakan bentuk pemberontakan kekuatan produksi melawan hubungan sosial yang ada. Sejak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas,  perjuangan ini termanifestasikan dalam perjuangan kelas; antara tertindas dan penindas, antara kelas penguasa dan dikuasai, antara kaum borjuis dan kaum proletar. Karl Marx menulis:
Friday, October 25, 2019 0 comments

Posisi Perempuan dalam Jerat Kapitalisme: Kembali pada Analisis Kelas


Judul Buku : Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression 
Penulis         : Tithi Bhattacharya (ed.) 
Penerbit       : Pluto Press.Press, 2017 
Tebal             : xii + 250 halaman
 
Di dalam masyarakat kapitalisme, kerja-kerja reproduksi sosial seperti merawat anak, memasak, dan mengurus rumah masih selalu dikonstruksikan secara sosial sebagai tanggung jawab individu perempuan (semata). Pengemban tanggung jawab tersebut ialah seorang istri/ibu; sementara suami/ayah dikonstruksikan secara sosial sebagai seorang yang hanya berkewajiban mencari nafkah.
Konsekuensinya, para perempuan selalu disibukkan dengan kerja reproduksi sosial di samping pekerjaan mereka di bidang lainnya (jika ada). Selain itu, konstruksi sosial ini menyebabkan pembagian gender yang asimetris di tengah-tengah masyarakat (Coontz, 1986).[1]
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisi tersebut tergambar dengan nyata, misalnya, dalam sebuah akun Instagram bernama @blacklistnannys. Melalui akun Instagram @blacklistnannys, para perempuan[2] ‘ex-majikan’ mem-blacklist para mantan ‘mbak’[3] dan ‘sus’[4] yang pernah bekerja di keluarga mereka dengan cara mem-posting foto dan kekecewaan (dan seringkali kemarahan) mereka terhadap para ‘mbak’ dan ‘sus’ tersebut. Melalui pengelola akun @blacklistnannys tersebut, para perempuan ‘majikan’ mengunggah foto sang ‘mbak’ atau ‘sus’ yang di blacklist sambil mendeskripsikan kesalahan-kesalahan yang diperbuat (dalam caption foto tersebut). Harapannya: agar para perempuan ‘majikan’ lain yang disebut dengan ‘moms’, yang akan mempekerjakan ART atau nanny, tidak merekrut mereka.
Friday, October 18, 2019 0 comments

Chili Telah Bangkit



Lirik lagu yang dibawakan oleh grup musik Chili, Quilapayún dikenal oleh jutaan orang di seluruh dunia: “El pueblo unido jamas sera vencido, La patria está forjando la unidad. De norte sebuah sur se movilizará”. (Rakyat bersatu tidak akan pernah dikalahkan, negara ini membangun persatuan, dari utara ke selatan itu akan turun ke jalan). Lagu ini ditulis pada bulan Juni 1973, hanya beberapa bulan sebelum represi brutal terhadap kelas pekerja Chili oleh diktator Augusto Pinochet, yang mengambil alih kekuasaan pada bulan September. Selama seminggu lebih, lirik lagu ini telah dikumandangkan keras di seluruh negeri dengan cara bersatu.
ada tanggal 13 Oktober, pemerintah Presiden miliarder Sebastián Pinera mengumumkan kenaikan ongkos kereta api metro sebesar 30 peso (sekitar 500 rupiah) pada jam sibuk. Pelajar sekolah menengah, yang telah memimpin mobilisasi anti-pemerintah selama dekade terakhir, segera merespon dengan melakukan protes dengan cara tidak membayar ongkos kereta. Ketidakpuasan dan perlawanan telah terbangun di seluruh Chile sejak restorasi demokrasi parlementer pada tahun 1990. Namun, mobilisasi saat ini jauh lebih besar sejak jatuhnya Pinochet dan secara politik paling signifikan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, rakyat Chili tidak lagi takut untuk melakukan protes, ketakutan karena ingatan 17 tahun kediktatoran militer yang brutal.
Thursday, October 10, 2019 0 comments

Gerakan Mahasiswa Bangkit Kembali, Kabar Buruk bagi Penguasa!

Demonstrasi mahasiswa pecah. Setelah lebih dari dua dekade jatuhnya kediktatoran Orde Baru gerakan mahasiswa bangkit kembali. Kali ini gerakan memobilisasi dirinya untuk menentang paket perubahan undang-undang yang dianggap kontroversi. Di antaranya yang menyebabkan kemarahan adalah RUU pelemahan terhadap KPK dan beberapa RUU lain yang mencakup kriminalisasi pasangan pra-nikah, pemberangusan terhadap komunisme hingga membuat ilegal menghina presiden. Mereka tahu bahwa pengesahan RUU ini akan menjadi serangan bagi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan demokrasi, yakni capaian-capaian yang telah dimenangkan oleh Gerakan Reformasi 1998.
Di Jakarta ribuan mahasiswa menduduki kantor DPR. 20 ribu polisi dan tentara dikerahkan. Dalam waktu dua hari kota-kota lain juga menempuh jalan yang sama. Ribuan mahasiswa mengorganisir dirinya keluar dari  kampus-kampus untuk menduduki kantor-kantor pemerintahan. Aparat yang tidak cukup sigap sepertinya terkejut melihat besarnya gerakan ini. Bentrokan pecah di jalanan. Asap gas air mata menyelimuti para demonstran. Respons negara adalah represi langsung. 500 orang dikabarkan ditangkap dan ada 90 lainnya yang dikabarkan hilang . Di Kendari 2 mahasiswa tewas. Di Makassar kendaraan lapis baja menabrakkan dirinya di antara kerumunan demonstran, yang menyebabkan 2 orang luka-luka.
Saturday, October 5, 2019 0 comments

Editorial: Reformasi yang dikhianati


Buruh, tani, kaum miskin kota, dan terutama kaum mahasiswa di seluruh Indonesia tengah bergerak bersama untuk menentang pemerintahan Jokowi. Belum lagi dilantik untuk masa jabatannya yang kedua, rejim ini sudah mencoba memaksakan sejumlah kebijakan yang jelas represif dan menindas rakyat, di antara lainnya revisi UUK, revisi UU KPK, RUU KUHP, dan RUU pertanahan.
Motivasi dari kebijakan-kebijakan ini sudah kita dengar dari pidato kenegaraan Jokowi pada 16 Agustus lalu, yakni untuk “berebut investasi.” Untuk menarik investasi ini, Jokowi katakan bahwa “cara-cara lama yang tidak kompetitif tidak bisa diteruskan. Strategi baru harus diciptakan. Cara-cara baru harus dilakukan.” Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri apa yang dimaksud Jokowi dengan cara-cara baru ini.
Lewat revisi UUK, pemerintah dapati cara baru untuk memeras lebih banyak keringat dan darah buruh, demi profit yang lebih besar bagi investor. Ini wajar-wajar saja dalam sistem kapitalisme. Investor mana yang tidak mengharapkan iklim bisnis dimana upah murah dengan jam kerja panjang dan buruh mudah di-PHK tanpa pesangon. 
Wednesday, October 2, 2019 0 comments

Represi September: Konsolidasi Kapitalisme dan Gelombang Perlawanan Rakyat


GELOMBANG perlawanan rakyat dari berbagai elemen terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang semakin oligarkis dan anti-demokrasi begitu menonjol dalam beberapa minggu terakhir. Di luar perhitungan kalangan gerakan sosial, aksi-aksi massa ini ditanggapi secara represif oleh aparatus keamanan negara. Mobilisasi jalanan oleh berbagai organisasi dan kolektif gerakan rakyat segera disambut oleh represi – peserta aksi digebuki, ditangkapi, dan bahkan difitnah. Bisa dikatakan bahwa represi yang terjadi akhir-akhir ini secara kualitatif merupakan represi dengan skala yang cukup besar dan karenanya cukup memukul perjuangan rakyat. Tetapi, gelombang perlawanan rakyat yang kembali muncul ini, terlepas dari segala dinamika dan kekurangannya, berupaya menjaga momentum perjuangan hingga detik ini.
Dinamika inilah yang menarik untuk dilihat lebih lanjut dan dijadikan acuan untuk pergerakan kita ke depan. Di sini, kita memerlukan suatu kerangka baca untuk memahami manuver-manuver liar yang diambil oleh para elite akhir-akhir ini dan mengevaluasi pola perlawanan kita. Tanpa kerangka baca yang lebih komprehensif, maka langkah kita ke depan akan cenderung defensif dan reaktif, lupa bahwa di tengah-tengah dominasi elite ada ruang-ruang di mana kita bisa lebih jauh memajukan tuntutan kita dengan strategi yang tepat.
 
;