Saturday, July 14, 2018 0 comments

Hari Yang Tak Pernah Ada


Berpura-pura selalu punya batas. Membohongi perasaan sendiri dan berasumsi bahwa segalanya baik-baik saja setelah kepergianmu. Masih ada sisa luka yang menganga di dalam dada. Masih ada sisa kata yang harus dimakamkan dari dalam kepala. Tidak ada yang baik-baik saja selama hujan menderas.
Dan air mataku, tak reda-reda.
Bermain dengan asumsi terkadang memang menyesakkan. Mencipta semesta dan membangun tetiap harapan baik di dalamnya. Menyematkan namamu di tetiap langitnya; hingga kala aku mendongakkan kepala, selalu ada namamu di sana—berdoa suatu hari nanti nama itu luruh dari langit dan resap ke dalam wajahku. Ketika itulah, aku akan menunjukkan kepadamu di hari bahagia kita.
Hari yang tidak pernah tiba.
Hari yang tidak pernah ada. Bagaimanapun juga, asumsi tidak akan menolong apa pun. Tidak akan membawa langkahku hingga membuatmu mengetahuinya. Sehingga, dadaku yang paling tidak keruan. Kamu tidak salah apa-apa. Pernah mengatakan saja tidak, mengapa kamu harus bersalah? Sementara, jauh di dalam penyesalanku, ingin rasanya untuk menuduhmu.
Namun, aku sadar, segara rasa yang kualirkan menujumu telah mengering. Tidak ada lagi apa-apa yang menjembatani perasaan kita. Dan, aku, terus berpura-pura untuk tetap tersenyum dan berkata aku akan terus mencintaimu.
Persetan dengan perasaan. Berpura-pura ada batasnya. Namun, aku tidak pernah menahu, kapan aku harus berhenti berpura-pura.
Monday, July 2, 2018 0 comments

Padamu, Segala Yang Kuberi Nama Semesta


Kamu. Satu-satunya nama yang hidup di dalam kepalaku; menerbitkan harapan di dalam dada ketika hati kecamuk oleh badai. Lalu kamu. Datang sebagai hangat yang sejak kemarin tak lagi kudapati. Menawarkan segala apa yang kini sedang kucari. Kamu, hati yang ingin kuperjuangkan walau bukan untuk kumiliki.
Aku ingin melupa pada detik yang telah menderas—yang telah melumat segala bahagia yang pernah lahir. Luka ini terbuka, tenggelam pada akhir. Tiada yang mampu menambalnya, hingga suatu waktu takdir mempertemukan kita—sesuatu yang sangat kusyukuri. Bagiku, kamu adalah obat yang kucari selama ini. Aku pernah bermimpi. Tentang penyatuan dua tangan untuk melempar doa-doa pada dini hari. Sampai aku tahu, bukan dengankulah ia ingin dibersamai. Lalu denganmu, sepasang tangan kini telah kembali. Memohon kebaikan semesta untuk merestui pertemuan ini.
Raih tanganku. Karena di antara jemarimu, kuselusupkan tetiap harapan perihal masa depan kita: bersama. Di matamu, aku menemukan bahagia—mengobati luka. Di matamu, aku menemukan segara yang alir dan tenang; membuatku ingin menyelaminya lebih dalam lagi. Dunia tahu aku bersyukur bisa membalut kekalutanmu. Bahkan tahu aku tersenyum karena jemari itu adalah milikmu. Tetapi, dunia pun tahu bahwa seluruh ketulusan ini, kalah telak dengan apa yang sudah kujalin bersama seorang laki-laki.
Saturday, June 30, 2018 0 comments

Aku Begitu Takut Kehilanganmu


Hey, aku pernah begitu takut akan kehilangan satu kali lagi. Setelah berulang kali harus menatapi kepergian orang-orang yang bisa menjadi pelipur kesepian, aku tidak ingin itu terjadi lagi. Perasaan tidak diciptakan Tuhan untuk terluka. Tiada obat yang benar-benar bisa mengobatinya. Dari utuh menjadi separuh, lalu separuh lagi hingga akhirnya tandas. Seperti itu rasanya, bila akhirnya aku kehilangan kamu.
Tetapi, semakin aku menunggu, rasanya kesempatan yang ada kian mengabu. Menjadi titik buta dari kebersamaan yang dinantikan-meskipun bibir ini tidak mampu mengatakan lebih dari sekadar sapaan. Aku tahu, kamu tidak akan pernah melihatku walau sekali, walau takdir rupanya perlahan memisahkan. Aku tahu, kamu tidak akan memilihku lagi. Mungkin bagimu, aku bukan siapa-siapa. Hanya lelaki yang pernah memimpikanmu sekali, teduh wajah yang dibingkai oleh sepasang kaca di matamu. Memimpikan kita bisa mendayung sampan di samudra yang sama, dengan kepalamu bersandar di bahuku dan aku membelai lembut pipimu.
Di senja sore itu aku menyematkan semoga pada Tuhan, agar memindahkan semesta nyata ke dalam bunga tidur ini. Aku ingin membersamaimu. Walau itu hanya sebagian kecil dari ketidakmungkinan. Walau itu hanya sedikit harap yang barangkali kamu akan menertawainya bila kelak mengetahuinya. Mungkin, perasaanku hanya sekadar kelakar bagimu. Sekadar perasaan sesaat yang paling hanya bertahan di bibir saja. Bertahan demi sebuah pembuktian bahwa aku tidak akan pernah bisa dicintai oleh siapa pun-kecuali oleh sepi yang hidup di kedua mataku.
Mungkin, bukan aku yang tidak berani mengambil langkah lebih jauh; tetapi itu kamu, yang terus-menerus mencari alasan untuk menjauh. Melupakan segala kata yang pernah kusisipkan di matamu melalui sepasang buku yang menyematkan namamu di dalamnya. Mungkin, kamu memang tidak butuh itu. Kamu tidak butuh aku; lelaki yang hanya bisa mencintai kehilangannya sendiri. Lelaki yang tidak bisa menjejak lebih dari sekadar jejalanan basah yang mengantar langkah pergimu. Bila saja, kamu mau membuka kembali pintu hati dan membiarkanku bertamu ke sana walau sejenak, kamu tidak akan menyesalinya. Toh, tidak akan lama.
         Bila saja, kamu mau membaca keseluruhan semesta yang hidup di dalam kata-kata; di sanalah aku membangun masa depan untuk kita. Masa depan yang sebentar lagi dipenuhi debu karena tiada satu kata pun kamu utarakan untuk mengiyakan.
Mungkin memang benar, aku tidak benar-benar hidup di dalam hatimu.

Friday, June 22, 2018 0 comments

Kamu Tidak Sendirian

Bila kamu bersedih lagi, percayalah kamu tidak sendirian di bumi ini. Bila kenangan kian meranggas kehilanganmu, percayalah kamu tidak sendiri. Gerimis yang jatuh di matamu bukan sebuah penyesalan-melainkan luapan perasaan mendalam yang diam di danau hatimu. Bila kamu masih merasa sendiri, mungkin kamu ingin melihat ke sekitarmu. Pada bayang-bayang yang mungkin (takkan) pernah tertangkap oleh kedua bola matamu yang teduh. Yang membingkai penantian tak berujung.
Kamu takkan pernah tahu, apa yang kamu rasakan, aku telah melaluinya duluan. Kamu takkan pernah tahu, di balik kerapuhan yang mungkin kerap kaulafalkan di setiap malam, aku kerap menguntai semoga pada yang Maha Kuasa, agar kamu diberi kekuatan. Kamu takkan pernah tahu. Aku telah memutuskan berhenti menunggu. Terlepas kamu yang telah memilih seseorang yang lain bertahun-tahun lalu, merajut bahagia dengannya sementara aku (dulu) bertahan; menunggu.
Friday, June 15, 2018 0 comments

Percakapan Jarak

Setelah mengenalmu, segalanya berubah dan menjauh dari sekadar abu-abu. Langit semakin membiru, dan senja tenggelam teduh dengan rona jingganya. Kau mengajarkan aku setiap warna yang baik bagi hidup. Meski dari jauh dan tak tersentuh, aku selalu ingin dekat denganmu, walau tanpa satu pun rengkuh. Sebab dalam keberadaanmu, aku menemukan mimpi indah yang terjadi sebelum aku tidur. Dan sebab perhatianmu, aku pun tahu bahwa rindu mampu tumbuh begitu hebat bahkan ketika kita belum sempurna melekat. 
Di mataku pernah hidup sebuah samudra, tempatmu mendayungkan perasaan sebelum jarak membuat lupa akan jalan pulang. Pada ombak bernama ketidakmungkinan yang kian mengejarmu-mengejar tetiap harapan yang dulu sama-sama kita sepakati. Bukan inginku, jarak ini hidup di antara kita; pun denganku yang juga mengerti bahwa rindu bisa tumbuh ketika kita belum menjadi sepasang yang saling memiliki.
Friday, June 8, 2018 0 comments

Selamat Pagi Kenangan


Selamat pagi, kenangan. Apa kabarmu hari ini? Sudah lama aku tidak singgah ke tempatmu. Mengunjungi perpustakaan yang kini sudah kumuh dan berdebu. Ada alasan tertentu mengapa aku taklagi berkunjung ke sana. Berpura-pura melupakan bahwa aku pernah membangun perpustakaan di dalam pikiranku. Tidak akan pernah mudah bagi sesiapa pun untuk melupakan sesuatu yang pernah berharga baginya. Begitu pun aku, kala memutuskan untuk mengunci ingatan tentang “kita” di dalam perpustakaan itu. Menguncinya dari luar lalu takpernah lagi datang ke sana. Aku taklagi ingin mengusik kembali segala yang pernah kita lalui di masa silam.
Aku sudah mengusaikan kata “kita” di antara aku dan kamu. Mengusaikan tiap rindu yang mendera dan menciptakan bahagia semu saat kita sama-sama menikmati senja selepas pulang kerja atau sembari menyantap kelapa di akhir pekan. Aku ingin lupa bahwa aku pernah hadir di hidupmu.
Aku pernah sekali mencintai kota di pinggir pantai itu. Mencintai kamu. Lalu, waktu menjeda perasaan di antara kita. Detik memutuskan menjauh dan tak kembali. Perlahan, jarak mencipta spasi hingga akhirnya kamu memilih pergi tanpa mengatakan apa-apa.
Thursday, May 31, 2018 0 comments

Kesadaran Kolektif Masyarakat Multikultural Dalam Perspektif Marxisme


Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mempunyai anggota dari berbagai corak produksi dan kebudayaan yang berbeda. Mereka membaur jadi satu karena ada beberapa faktor yang menyatukan mereka diantaranya ialah faktor ekonomi, geografis, dan agama. Kesamaan faktor tersebut lah yang membentuk kesatuan masyarakat multicultural. Masyarakat multicultural bercorak heterogen. Inilah yang membuat masyarakat multicultural sangat unik.
Jika kita berbicara tentang masyarakat, maka kita tidak bisa lepas dari kesadaran kolektif. Sebelum menelisik lebih jauh soal kesadaran kolektif, ada baiknya kita lihat bagaimana Karl Marx berbicara soal kesadaran dari perspektif Materialisme Dialektika :
“… Bukan kesadaran manusialah yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya; eksistensi sosialnyalah yang menentukan kesadarannya.”
 
;