Friday, November 16, 2018 0 comments

Kali Kedua


Aku kehabisan kata-kata. Takdir berkonspirasi dengan Waktu untuk mencipta pertemuan kembali hadir di antara kita. Kenangan tentangmu di masa silam seketika menyeruak cepat, menghentak dadaku; senyuman terakhirmu yang berdiam di pikiranku, mendadak menyala terang di mataku. Semestaku luruh dalam sekejap.
Aku sedang tidak bermimpi, kan?
Kita menyulam segala yang pernah terlepas oleh detik dan tanggal. Saat dari kejauhan langkah kakimu tertangkap oleh kedua mataku saat suaramu mulai menyelusup ke dalam ruang-ruang pikiranku, aku sadar betul bahwa aku telah kehilangan kata-kata.
Rindu itu begitu tajam. Menikam harapan menjadi serpihan, meninggalkan luka mendalam di relung perasaan, dan kemudian Ia menyatukannya lagi menjadi utuh. Ini benar kamu, kan?
Friday, November 9, 2018 0 comments

KEMBALI


Aku baru menyadari sekarang kamu telah menapaki jalan yang berbeda daripada sebelumnya. Mungkin aku harus menarik semua rasa menyerahku di masa silam dan mulai mengunjungi jalanmu lagi. Kedatanganmu yang tiba-tiba, bersamaan dengan remukan kertas berisi harapa yang entah mengapa kini terbuka lagi di atas mejaku.
Sungguh, lucu bukan?
Untuk pertama kalinya aku kembali membasahi segara rasaku yang (pernah) kering oleh seorang yang pernah kuikhlaskan. Seseorang yang pernah kutunggui untuk sekian lama sebelumnya akhirnya aku benar-benar membunuh langkah menuju orang itu.
Kamu.
Berita tentangmu sungguh membuat diriku limbung; di tengah langkahku yang kini mulai menuju pada seseorang yang lain; seseorang yang serupa denganmu. Dan kini, kenanganmu begitu saja datang mengetuk ruang pikiranku dan ingin singgah untuk waktu yang takterdefinisi.
Haruskah aku membukanya? Atau menepisnya?
Hal itu menjadi pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya.
Friday, November 2, 2018 0 comments

PAGI INI


Pagi ini, kamu melabuhkan lagi senyummu bersama langit merah yang perlahan menampar wajahku dengan dingin dan lembut. Aku tahu, jarak di antara kita begitu dekat tapi juga jauh; jarak di mana kamu takkan menemukan aku. Serupa jejalanan lengang di tengah malam yang dibasahi oleh hujan deras, seperti itulah kamu di dalam dadaku. 
Kamu membasahinya begitu deras dengan kehangatan, tapi tetap saja perasaanku kosong. Pagi ini, aku yang sengaja melupakan tidur demi menikmati tiap kata-kata yang ingin kukirimkan padamu melalui surat kertas yang kulipat menjadi pesawat kecil. Pesawat itu hendak kuterbangkan dan mendarat di atas sampan tempatmu mendayung di atas lautan.
Melihat langit pagi ini, aku teringat warna pipimu saat memalu kala dulu pernah tidak sengaja kukatakan bahwa malaikat itu bukan makhluk tak kasatmata yang takbisa dilihat siapa pun. Kamu berlalu dan meninggalkan pertanyaan di benakku. Apakah saat itu kamu tersenyum dengan ketidasengajaanku atau kamu justru membencinya?
Karena mulai detik itu, aku membentang jarak padamu seperti yang kukatakan tadi. Aku mulai belajar bagaimana caranya untuk menunggu, sekalipun itu selamanya. Karena mencintaimu, aku tidak mengenal detik dan tanggal. Perasaan itu gugur dan mewujud kata-kata yang kutuliskan padamu hari ini. Perihal batas yang menjadi dinding di antara kita.
Bagiku, pagi ialah permulaan; seperti kamu yang takpernah tahu kapan permulaan dari kata ‘kita’ itu datang, karena aku memang takjua mencipta langkah menujumu. Detik ini, aku masih ingin menikmati senyummu dari kejauhan. Berdoa semoga ingin tak berubah menjadi angan.
Dan kamu; embun pagi.
Lalu aku hanya perlu bertanya, apa kabar hari ini? Semoga pagimu begitu menyegarkan. Jikalau nanti pesawatku sampai, semoga kamu mau membalasnya.
Thursday, October 25, 2018 0 comments

Aku Yang Gagal Mempertahankan Mu


Cinta membuat kita 
Mengerti, ada bahagia
Sebelum patah hati.

Aku tengah mengaduk sesak sembari mengiris senja di pelantaran logika. Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyummu yang dulu biasa kini tiada. Menggantung hebat penasaran yang terbias tenggelamnya kehadiran, kini adamy hanya bisa tergambar oleh mimpi dan lamunan. Rona jingga pun menyingkap langit, waktu memukulku seraya membisikkan kenyataan pahit,  bahwa . . . 

     Kau mencintainya.
     Kau bahagia dengannya.

Padamu kepergian, inikah sepenggal rasa dibebunyian sangkakala. Langit mementahkan gemuruh, ketiadaanmu membuatku semakin rapuh. Langkahpun melupakan pijakan, harapku tertatih di makan penyesalan. Merayap tanpa ampun mengunci segala embun. Pagi tak akan pernah cerah tanpa ucapan pemulai harimu, dan malam tak pernah anggun tanpa bisikan lembut dari bibir mungilmu.

Aku merindukanmu bagai hujan yang merindukan pelangi, iya menyebar indah menyelimuti bumi dengan aku satu-satunya cahaya yang berpendar menjadikannya warna. Sebelum akhirnya aku terhentak, secuil kangen yang terbalas pun tidak, itu karna. . .

    Kau mencintainya.
    Kau bahagia dengannya.

Thursday, October 18, 2018 0 comments

Ketidak Sengajaan


Dadaku begitu riuh. Di antara keramaian meja di food court sebuah pusat perbelanjaan, mataku tiba-tiba sampai di wajahmu. Gadis berkacamata dengan ponsel abu-abu di tangan. Caramu bertopang dagu dan memakai jilbab, sungguh menarik perhatianku yang tak menemukan fokusnya sedari tadi. Kamu duduk sendirian entah menunggui siapa. 
Tatapan matamu yang teduh, putih kulitmu, dengan sweter birumu mengingatkanku pada seseorang di kota hujan yang (pernah) ditunggui selama dua tahun. Kedatangnmu kala kota ini—bukan kota hujan—disergap oleh rinai-rinai yang berjatuhan dari atas langit membuatku sadar bahwa dalam tetiap perjalanan ada saja efek kejut yang bisa muncul kapan saja.
Thursday, October 11, 2018 0 comments

Sampai Suatu Titik


Sampai suatu titik, aku sadar jalan yang kulalui ternyata tak berujung. Kupikir, ketika dulu memutuskan untuk berhenti dan menemukan jalan baru, adalah cara untuk melepaskan semua beban di kepala dan dada. Di jalan itu aku menemukanmu.
“Kamu yang kucari selama ini” adalah panggilanku untukmu: orang-orang yang barangkali adalah penampung tulang rusukku yang hilang. Tepat satu setengah tahun lalu, aku memutuskan untuk memulai perjalanan pencarian pertama kali dan tak terasa sampailah aku di sini.
Di titik ini, aku beristirahat sejenak. Rerumputan hijau terhampar luas di sekelilingku. Angin menampar lembut wajahku. Udara segar mulai memeluk tubuhku. Rasa lelah terusir tanpa permisi. Pertanyaan mulai hadir di benakku:
            Benarkah jalan ini yang harus kulalui? Benarkah di suatu titik di depan sana, aku akan menemukanmu?
Thursday, October 4, 2018 0 comments

SEPUCUK PERPISAHAN


 
Abor, kutitipkan sepucuk kabar masa depan di jendela rumahmu—berita yang kutahu akan mencabik dadamu. Tapi, inilah waktu dan takdir. Kita hanya harus menjalaninya saja. Terhelak kutahan napasku dalamdalam, menyembunyikan perasaan pedih meradang lalu kusembunyikan bulir itu seraya mengucapkan selamat telah menemukan seseorang selain aku untuk menyempurnakan hidupmu.
Kamu takperlu berpura-pura bahagia; ada masa lalu yang pernah menyemat kata "kita". Segala yang rantas ketika keraguan yang ada hanya menunjukkan sebuah jalan—tanpamu di dalamnya. "Kita", kata yang tak alpa kusemogakan dalam munajat agar aku dan kamu bersatu, bersisian dalam kebaikan, namun hari ini harapan itu luluh lantak berbias perjuanganku untuk meyakinkan keraguanmu.
 
;