Friday, December 20, 2019 0 comments

Chile, Revolusi telah Dimulai



Demonstrasi besar melanda Chile. Seruan pemogokan umum dihadiri lebih dari satu juta orang. Mereka memenuhi jalanan Chile selama beberapa kali dalam dua bulan terakhir, terutama di Ibukota Santiago. Gerakan pemberontakan ini bermula dari protes terhadap kenaikan tarif transportasi yang dipimpin oleh kaum muda. Dari kampanye penolakan kenaikan ini, sebuah gerakan massa telah berkembang melawan pemerintah yang lalu ditanggapi dengan represi brutal.  
Banyak orang terkejut, karena Chile selama ini dikenal sebagai salah satu negeri paling makmur di Amerika Latin. Barangkali keterkejutan ini juga menghampiri Pinera, sang Presiden, yang baru awal Oktober lalu mengatakan dengan bangga bahwa Chile adalah oase di tengah gejolak sosial yang terjadi di negeri-negeri Amerika Latin. Memang, selama ini Chile dikenal sebagai role model pembangunan negeri di Amerika Latin. Tingkat pertumbuhan ekonominya kuat, kemiskinan yang menurun dan sistem politik yang nampaknya stabil sejak akhir pemerintahan Augusto Pinochet hampir 30 tahun lalu.
Namun bila kita melihat lebih dalam, Chile adalah salah satu negeri yang paling tidak setara didunia. PBB sendiri mengestimasi bahwa 1% warga terkaya di sana menghasilkan sepertiga kekayaan nasional. Komentar-komentar dari kelas menengah dan lapisan bawah kelas pekerja sering kali mengungkap ketimpangan yang berlangsung puluhan tahun antara lain: upah minimum yang rendah, pertumbuhan upah yang lambat, perlindungan serikat yang lemah, sistem pensiun yang diprivatisasi, sistem pendidikan bertingkat yang membuat pelajar miskin berhutang, perumahan yang tidak terjangkau, perawatan kesehatan yang buruk, dan konstitusi yang masih mempertahankan sisa-sisa kekuasaan militer. Belum lagi korupsi yang banyak dilakukan oleh para pejabat. Semua ini menumpuk, bak gunung es yang saat ini meledak. Kebijakan menaikkan tarif transportasi hanyalah pemicu demonstrasi besar ini.
Thursday, December 12, 2019 0 comments

Pemogokan Prancis dan Pelajaran bagi Buruh



Gerakan revolusioner kembali pecah di Prancis. Gerakan ini dalam skala jauh lebih besar dari Gerakan Rompi Kuning karena melibatkan banyak pekerja. Menara Eiffel tutup, 11 dari 16 stasiun kereta bawah tanah serta kereta cepat membatalkan perjalanan, dan bandara yang melayani penerbangan dilaporkan berhenti. Prancis diselimuti keheningan tanpa kelas pekerja. Listrik dimatikan. Rumah, kantor, jalanan dan sekolah tutup. Transpotasi lumpuh saat protes yang dilakukan di seluruh Prancis mengikuti pemogokan umum yang ditujukan untuk menolak reformasi pensiun. Pekerja berpendapat bahwa reformasi yang diusulkan akan membuat mereka bekerja lebih lama untuk pensiun yang lebih kecil.
Pemogokan yang berlangsung sejak 5 Desember telah melumpuhkan transportasi, jalur distribusi dan ekonomi. Pekerja transportasi, guru, pengontrol lalu lintas udara, pemadam kebakaran, dokter dan perawat mogok. Mahasiswa dan pelajar meninggalkan kelas dan bergabung di jalanan bersama pekerja. Kabut gas air mata memenuhi jalanan seiring betrokan yang terjadi antara demonstran dan polisi. Mengantisipasi besarnya pemogokan ini Pemerintah Prancis mengerahkan ribuan polisi tambahan. Di sepanjang rute demontrasi utama kota Paris, toko-toko dan bank-bank tutup. Di Paris 90 orang ditangkap. Macron mengirim mobil lapis baja, meriam air, dan ribuan polisi anti huru-hara bersenjata berat untuk menyerang para pemogok yang berbaris di kota-kota di seluruh Prancis.
Menurut angka resmi pemerintah jumlah pemogokan ini mencapai 615 ribu. Namun menurut serikat buruh CGT, angka ini mencapai tiga kali lipat dari laporan resmi. Lebih dari separuh dari populasi Prancis mendukung atau bersimpati dengan pemogokan ini. Meskipun pejabat dan penyelenggara demo memberikan angka yang saling bertentangan, demonstrasi ini adalah yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak ada ketetapan sebelumnya kapan pemogokan ini diakhiri, namun partisipasi yang meluas dalam pemogokan ini menunjukkan akar ketidakpuasan sosial ini sulit untuk diakhiri.  
Friday, December 6, 2019 0 comments

Marxisme dan Tiga Samurai

 

ANDA mungkin sudah sering mendengar tentang peristiwa penting yang pernah berlangsung dari abad ke-15 sampai abad 16. Mulai dari jatuhnya Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium ke tangan Kekaisaran Turki Ottoman pada 1453, kemenangan Kerajaan Perancis dalam Perang 100 tahun atas Inggris di tahun yang sama, mendaratnya Christopher Columbus di salah satu pantai kepulauan Bahamas pada 1492, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg yang melahirkan Rennaisance, Reformasi Protestan Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma, berkembangnya merkantilisme di Venesia, Genoa dan Pisa, hingga maraknya penggunaan bubuk mesiu untuk meriam dan senapan sundut yang sejak saat itu akan mengubah jalannya sejarah manusia. Namun sepertinya Anda jarang mendengar kisah menarik tentang para samurai selain Seven Samurai atau Rurouni Kenshin.

Kala abad itu dunia bergejolak, Jepang punya dinamika tersendiri, yaitu suatu periode dalam sejarah negeri matahari terbit yang dikenal dengan Sengoku Jidai atau Zaman Negeri yang Berperang. Periode ini ditandai sebagai era paling kacau balau yang dihiasi oleh serangkaian perang saudara antar provinsi tanpa henti. Pertikaian kembali dimulai setelah berakhirnya Perang Onin tahun 1467 yang memporak-porandakan Kyoto dan daerah-daerah disekitarnya. Ketidakberdayaan dan surutnya pamor Keshogunan Ashikaga dimanfaatkan dengan baik oleh para panglima perang samurai dan beberapa klan memperebutkan kekuasaan di pulau itu.

Wednesday, November 27, 2019 0 comments

Bagaimana Memenangkan Revolusi?



Banyak aktivis gerakan yang menginginkan revolusi dan menunggu datangnya peristiwa itu. Namun ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang kesiapan mereka menghadapi revolusi, mereka lantas mundur ke belakang. Mereka tidak membahas ini lebih jauh. Bagi mereka gerakan adalah segalanya. Pertanyaan teori tidak pernah hinggap di kepala mereka, kalaupun ada itu hanya sebentar dan lalu hilang. Mereka-mereka ini adalah subyek pasif revolusi. Sadar maupun tidak mereka telah mengadopsi sikap anti-teori. Sikap ini bahaya, dan dari sudut pandang pelopor ini fatal. Sikap seperti ini tidak pernah bisa memimpin revolusi apalagi memenangkannya.
Revolusi merupakan pemberontakan spontan dari massa. Revolusi bisa terjadi oleh berbagai sebab. Bisa terjadi karena pembusukan politik dari skandal-skandal korupsi; oleh tirani; oleh krisis ekonomi; dan karenanya revolusi tidak pernah mempunyai tanggal kapan ia bisa terjadi. Untuk itu mustahil menciptakan secara artifisial situasi yang melatar-belakangi revolusi.  Lewat kontradiksinya kapitalisme menyediakan seluruh bahan bakar untuk terjadinya revolusi itu sendiri.
Tapi tidak setiap revolusi secara otomatis mengarah pada kemenangan sosialis. Sejarah membuktikan ini berkali-kali. Bahkan banyak demonstrasi dan pemogokan besar dalam sejarah yang mampu menggulingkan sebuah rezim belum mampu menggulingkan sistem kapitalisme. Seperti halnya Gerakan Reformasi 98’ meskipun massa tumpah ruah di jalanan serta mampu menggulingkan kediktatoran Soeharto namun masalah kekuasaan masih tertinggal di belakang. Rezim berganti tapi pondasi kapitalisme masih utuh.
Friday, November 22, 2019 0 comments

Apakah Sosialisme Sudah Gagal?



Semenjak runtuhnya Uni Soviet hampir semua orang mengatakan sosialisme sudah gagal. Krisis di Venezuela juga mendorong banyak orang untuk berteriak bahwa sosialisme tidak dapat bertahan. Dari semua pendapat yang mengalir ini apa yang ingin disampaikan adalah sistem kapitalisme, kendati semua keburukannya, merupakan sistem yang paling mungkin bagi umat manusia. Kejatuhan sosialisme Uni Soviet dianggap sebagai kegagalan dari teori di baliknya, yakni teori Marxisme.
Semenjak itu semua orang berbondong-bondong mencari-cari ‘ide-ide baru’. Mereka terus mencari perpaduan ideologi atau jalan tengah antara sosialisme dan kapitalisme. Dari ini kita mengenal ‘teori baru’ seperti teori Sosialisme Abad 21, yang mengklaim berbeda dengan sosialisme pendahulunya yang ada di Uni Soviet. Adalah Heinz Dieterich seorang sosiolog Frankfurt yang belajar dengan Adorno, Horkheimer dan Habermas yang memperkenalkan teori Sosialisme Abad 21. Heinz Dieterich, sang ‘penemu’ Sosialisme Abad 21, mengklaim bahwa revolusi dan perjuangan kelas sudah tidak lagi dibutuhkan. Dieterich menganggap  jika pasar mampu dijinakkan maka pasar akan memenuhi kebutuhan semua orang.
“Jika pasar tidak monopolistik dan jika Anda memiliki daya beli untuk barang yang Anda hasilkan dan untuk layanan, maka pasar berkoordinasi cukup baik. Anda dapat pergi ke negara raksasa, seperti Amerika Serikat, dan Anda dapat membeli apa saja, di mana saja di negara raksasa itu, kapan saja. Jadi, [pasar] itu berfungsi dengan baik, jika Anda memenuhi dua kondisi ini.” (Rekaman video Heinz Dieterich oleh O. Ressler, Jerman)
Saturday, November 16, 2019 0 comments

BTI dan Warisan-Warisannya



Sekilas Awal Sejarah BTI
Tak seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), atau Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),[1] BTI (Barisan Tani Indonesia) bersama dengan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) menjadi beberapa onderbouw atau organisasi (yang dianggap) terafiliasi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang belum dikaji secara khusus dan menyeluruh sebagai sebuah organisasi nasional, dalam satu karya akademik.[2] Padahal signifikansi pengaruh BTI, khususnya di tahun 1960-an, sama sekali tak bisa disepelekan. Betapa pentingnya peran organisasi tani ini di era itu, tergambar dari keanggotaannya, seperti yang ditulis Karl J. Pelzer,
“Pada bulan Maret 1954, BTI mengklaim bahwa jumlah anggotanya 800.000 orang dan sekitar 2.000.000 orang pada bulan April 1955. Pada waktu pemilihan umum yang diselenggarakan akhir tahun 1955, sekretarian BTI melaporkan bahwa jumlah anggotanya 3.300.000 orang. Pertambahan yang mengagumkan ini disebabkan oleh kampanye yang dilakukan golongan komunis secara gencar sebelum pemilihan umum. Dalam sepuluh tahun berikutnya, BTI mengalami pertambahan keanggoaan yang sangat pesat dan pada tahun 1965 mengklaim bahwa jumlah anggotanya tak kurang dari 8.500.000 orang… Tahun 1965, cabang BTI dapat ditemukan praktis di seluruh kabupaten dan di lebih dari 80 persen kecamatan yang ada di Indonesia”.[3]
Friday, November 8, 2019 0 comments

Pelajaran dari Kekalahan Revolusi Bolivia



Gelombang Revolusi Amerika Latin sekali lagi menerima pukulan telak dengan lengsernya Presiden Bolivia Evo Morales pada 10 November. Jatuhnya Evo Morales adalah kulminasi dari usaha kudeta yang telah bergulir selama beberapa minggu terakhir. Walau bukan untuk pertama kalinya kekuatan reaksi mencoba menggulingkan pemerintahannya, kali ini mereka berhasil. Pembangkangan polisi, penembak jitu yang menembaki buruh tambang, laporan dari OAS (Organisasi Negara-negara Amerika) yang mempertanyakan validitas pemilu, dan akhirnya, jerami yang mematahkan punggung onta, angkatan bersenjata yang meminta agar Evo Morales turun, semua ini menjurus ke babak terakhir dari drama ini.
Ketika artikel ini ditulis, Evo Morales telah menerima suaka politik di Meksiko. Ini jelas karena kekuatan oligarki Bolivia, kaum tuan tanah dan kapitalis, tidak akan memaafkannya dan berniat menjebloskannya ke penjara – bahkan menggantungnya bila perlu – karena telah memimpin Revolusi rakyat pekerja Bolivia yang mempermalukan para tuan-nyonya terhormat ini. Reaksi menginginkan balas dendam yang berdarah-darah.
Kita semua patut, dan harus, bertanya bagaimana Revolusi Bolivia bisa berakhir dengan kekalahan ini. Tidak cukup mengutuk kudeta reaksioner ini. Menjawab pertanyaan ini akan mempersenjatai kita dengan perspektif, strategi dan taktik untuk mematahkan reaksi yang kini tengah menunjukkan taringnya dan siap membatalkan pencapaian-pencapaian besar yang telah diraih oleh rakyat pekerja Bolivia selama dekade terakhir.
 
;