Wednesday, November 18, 2020 0 comments

Korona dan Kerala: Belajar dari Negara Bagian Merah di India


SEPERTI Amerika Serikat (AS), India menggunakan federalisme sebagai fondasi sistem pemerintahannya. Namun berbeda dari Amerika Serikat, warna merah di India tidak digunakan untuk menggambarkan negara bagian yang dikuasai oleh Partai Republik yang berhaluan konservatif, melainkan mengacu pada Communist Party of India (CPI)dan Communist Party of India (Marxist) (CPI(M)), dua partai kiri yang selama dua dekade terpilih untuk memimpin negara bagian Kerala. Berbeda juga dengan rezim Partai Republik AS di tingkat lokal dan nasional yang terkenal suka memangkas anggaran sosial, pemerintahan kiri di Kerala justru berhasil meningkatkan tingkat partisipasi warga dan menjamin berbagai layanan sosial bagi warganya. Kali ini, saya bermaksud untuk membahas kiprah pemerintahan kiri di Kerala, terutama dalam masa pandemic COVID-19, tepatnya di tengah lockdown atau kuncian sementara yang sangat ketat dilancarkan oleh pemerintah pusat India pada 25 Maret 2020 hingga 30 Juni nanti.

Semenjak penerapan kebijakan lockdown, India mengalami guncangan domestik yang cukup serius. Berbagai permasalahan bermunculan ke permukaan, seperti isu kesenjangan sosio-ekonomi serta konflik dan kekerasan komunal terkait kasta dan agama. Wabah virus Korona semakin memperparah persoalan-persoalan ini. Kemudian, kebijakan lockdown yang ketat yang telah diterapkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi yang berkuasa sekarang, dilakukan secara sembrono. Kebijakan ini menimbulkan dampak yang berbahaya bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok rentan dan buruh migran yang menjadi ‘tumbal’ dari percobaan skala besar dengan harga nyawa manusia, seperti yang diilustrasikan oleh penulis Arundathi Roy (2020).

Wednesday, November 11, 2020 0 comments

Kapitalisme ‘Mereproduksi’ Pandemi

 

Namun, janganlah kita terlalu bangga atas penaklukan-penaklukan kita terhadap alam. Karena masing-masing penaklukan itu berbalas-dendam terhadap kita. Setiap kejayaan, memang benar, di tempat pertama hasilnya memenuhi ekspektasi kita, tetapi di tempat kedua dan ketiga efeknya sangat berbeda, tak terduga, dan seringkali hanya membatalkan yang pertama. (Friderich Engels, The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man, 1876)

Korban terpapar Coronavirus disease-19 (Covid-19) terus berjatuhan. Hingga 6 April 2020,  1.285.257 manusia terinfeksi dan 70.344 diantaranya meninggal. Para pejabat Indonesia awalnya meremehkan sambil berkelakar.[1] Banyak tokoh nonpejabat juga membuat pernyataan menyesatkan.[2] Saat virus mulai merenggut korban jiwa, semua gelagapan. Petugas medis bekerja kewalahan tanpa perlindungan. Revisi-revisi pernyataan antarpejabat terjadi. Desa-desa dan Daerah-daerah berinisiatif lockdown, Pusat melarangnya demi ekonomi investasi.[3] Hingga kini, 22 dokter meninggal dan lebih dari seratus pekerja medis terinfeksi. Sedikitnya data korban versi Kementerian Kesehatan makin tak masuk akal, sampai-sampai Pemerintah daerah hingga Badan Nasional Penganggulangan Bencana terang-terangan menyangkalnya.

Thursday, November 5, 2020 0 comments

Coronavirus, Krisis dan Akhir Neoliberalisme

Tiba-tiba, kita melihat dunia yang berubah. Jalan-jalan kosong, toko-toko tutup, langit cerah tak seperti biasanya, dan meledaknya jumlah korban jiwa. Ini semua belum pernah terjadi di depan mata kita.

Di mana-mana, berita ekonomi mengkhawatirkan. Pandemi COVID-19 memicu kontraksi ekonomi paling dalam dan tajam sepanjang sejarah kapitalisme.[1] Mengutip Manifesto Komunis, semua yang padat telah mencair ke udara: ‘globalisasi’ menjadi terbalik; rantai pasokan yang panjang, yang sebelumnya merupakan satu-satunya cara ‘rasional’ untuk mengatur produksi, telah runtuh dan perbatasan (antar negara) yang sangat ketat telah mencair; perdagangan telah menurun secara drastis, dan perjalanan internasional menjadi sangat dibatasi. Dalam hitungan hari, puluhan juta pekerja menjadi pengangguran, dan jutaan bisnis kehilangan karyawan, pelanggan, pemasok, dan lini kredit (credit lines) mereka.[2]

Beberapa negara memperkirakan kontraksi PDB akan diukur dalam dua digit, dan sebuah antrian panjang dari sektor-sektor terdampak mendorong pemerintah melakukan bailout. Di Inggris saja, bank, kereta api, maskapai penerbangan, bandara, sektor pariwisata, badan amal, sektor hiburan, dan universitas berada di ambang kebangkrutan. Belum lagi para pekerja yang terlantar serta para wirausaha (secara nominal), yang kehilangan segalanya karena guncangan ekonomi yang bahkan belum terasa sepenuhnya.[3]

Thursday, October 29, 2020 0 comments

Judicial Review: Cara Penguasa Menjinakkan Gerakan Anti-Omnibus Law

 

PENGESAHAN Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Cipta Kerja pada 5 Oktober silam telah memicu lahirnya gelombang demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia. Undang-undang yang hingga kini naskah akhirnya tidak kunjung dapat ditunjukkan baik oleh pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memuat banyak ketentuan bermasalah.

Banyak kajian akademik dan hasil penelitian berbagai lembaga independen telah mengupas pokok-pokok persoalan dari setiap kluster topik undang-undang tersebut. Namun, pemerintah dengan gigih membantah berbagai kritik terhadap UU Cipta Kerja sebagai hoaks dan disinformasi. Kritik terhadap kecacatan proses penyusunan undang-undang terkait partisipasi juga telah dibantah dengan mengklaim bahwa pemerintah dan DPR telah mengakomodasi representasi kelompok kepentingan yang berbeda.

Penting dicatat, pemerintah memiliki instrumen yang lebih memadai dan canggih dalam memanipulasi kesadaran publik: membantah berbagai bentuk kritik serta mendomestifikasi dan mengerdilkan perlawanan dengan mengarahkan tuntutan ke jalur-jalur yang telah direkayasa untuk memperlemah gerakan.

Wednesday, October 21, 2020 0 comments

Ilusi Nawacita dan Kegagapan Kaum Intelektual Kiri

BERBAGAI analisis telah menunjukkan mengenai kecil dan insignifikannya gerakan kiri di Indonesia sejak 1965 dan karena itu pula agenda politik yang progresif menjadi marginal. Dalam debat mengenai posisi politik untuk pemilu 2019, para penulis IndoPROGRESS juga bersepakat pada kesimpulan serupa. Pokok perdebatan terletak pada bagaimana membangun kekuatan politik alternatif serta mengonsolidasikannya sebagai gerakan yang mampu secara signifikan mendesakkan agenda politik yang progresif.

Ada dua posisi yang bisa dikata saling bertentangan dalam debat itu. Posisi pertama, mendorong perubahan dari dalam dengan mendukung atau beraliansi dengan salah satu kekuatan politik yang bertarung dalam pemilu. Posisi kedua, mengampanyekan agar konsolidasi gerakan alternatif dilakukan tanpa beraliansi dengan kekuatan politik mana pun yang tidak mengutamakan agenda kerakyatan. Saya termasuk yang bersepakat dengan posisi kedua sebagaimana telah saya kemukakan dalam beberapa tulisan sebelumnya.

Friday, October 16, 2020 0 comments

Prakerja, Cilaka, Minerba: Memanjakan Kapitalis, Menindas Pekerja

 

Virus Covid-19 tak hanya cepat menular dan membunuh manusia. Ia juga dengan gesit menggerogoti jantung perekonomian kapitalisme. Imbasnya, kapitalis tidak mempunyai jalan lain selain memecat sepihak buruhnya demi mengantisipasi kebangkrutan. Mayoritas buruh dipecat tanpa diberi pesangon. Mereka kemudian berduyun-duyun ke jalan, menggalang aksi menuntut pesangon serta nasib mereka kelak.

Dalam situasi kalut itu, pemerintah lalu meluncurkan kartu prakerja, yang sebenarnya merupakan program Jokowi dalam kampanyenya setahun silam. Kartu ini diharapkan menjadi solusi mengentaskan masalah para buruh sekarang.

Pada saat bersamaan, pemerintah juga mengesahkan RUU Minerba yang telah dibahas oleh panja RUU Minerba Komisi VII DPR RI dari Februari-Mei. Selain itu, pemerintah juga membahas RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) atau Cika. Kedua RUU tersebut ditargetkan pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan guna mengatasi pengangguran.

Wednesday, October 7, 2020 0 comments

Siksa Kapitalisme dalam Omnibus Law RUU Cilaka

Ancaman resesi ekonomi akibat dari pelbagai macam faktor ketidakpastian rupanya bukan sekadar asumsi para ekonom belaka. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global selama satu dekade terakhir, turut membuat resah dan khawatir para pemangku kepentingan. Baru-baru ini, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) kembali merevisi ramalan pertumbuhan ekonomi global 2020, dari sebelumnya ditaksir 3,0 persen menjadi 2,9 persen. Bagi Indonesia, kondisi ini bukan sesuatu yang mudah.

Jokowi di pelbagai kesempatan turut menegaskan akan tantangan berat yang sedang dan akan dihadapi ekonomi nasional – kendati ia tak lupa menekankan agar selalu optimis. Tentu saja tidak enteng menghadapinya. Apalagi kenyataan di periode pertama kekuasannya, (2014-2019) pertumbuhan ekonomi nasional stagnan di angka 5 persen. Ini membuktikan kalau paket kebijakan deregulasi yang diorbitkan semasa 2015-2019 nyaris tak memenuhi ekspektasi pertumbuhan 7 persen (seperti dijanjikan dalam kampanye pemilu 2014).

Menurut catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang 2014-2018, misal, realisasi investasi—baik itu penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA)—secara umum, mengalami peningkatan. Kendati ada peningkatan, tapi realisasinya cenderung

 
;