Thursday, April 29, 2021 0 comments

Friedrich Engels, Anak Pengusaha yang Mengabdi untuk Pembebasan Kelas Pekerja

            Hampir dua ratus tahun yang lalu, 28 November 1820, seorang anak pengusaha kaya itu dilahirkan di Barmen, Wuppertal, Jerman.

Lahir dan dibesarkan dari keluarga borjuasi pada umumnya, tentu ia juga kelak mengurus perusahaan dan didorong meneruskan profesi bapaknya.

Tapi tidak seperti Puteri Tanjung dan Ardi Bakrie, ia malah dikenal bukan sebagai pebisnis. Memang, ia sempat menjadi manajer finansial di perusahaan bapaknya. Tapi, itu dilakukan untuk merekatkan hubungan dengan bapaknya yang sempat renggang karena aktivitas politiknya.

Saturday, April 24, 2021 0 comments

Emansipasi Kesadaran dari Kapitalisme Pengawasan

 


Pada awal tahun, objek kesadaran kita juga disuguhkan dengan berita banjir di Jakarta yang merugikan kelas atas sampai kelas bawah. Tentu yang paling dirugikan adalah kaum miskin kota. Selain berita soal banjir, kesadaran publik juga dibanjiri berita-berita dengan bingkai optimisme nasional. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, pemindahan ibu kota ke Kalimantan, turisme VIP untuk Labuan Bajo, dan rencana penyelenggaran PON oleh Gurbernur Papua Lukas Enembe yang digadang akan menghabiskan dana sebesar 10-15 triliun.

Saturday, April 10, 2021 0 comments

Di Farmasi Marx: Wawancara dengan Marcello Musto

 

Ada ungkapan yang sering dilontarkan selama pandemi COVID-19: “Semuanya tidak akan pernah sama lagi seperti dulu”. Kemudian muncul kesadaran bahwa sementara perubahan-perubahan yang sedang berlangsung terbilang banyak dan besar, hal-hal yang berjalan seperti biasanya juga tidak sedikit. Hari ini orang cenderung mengatakan bahwa pandemi menunjukkan—bahkan—mempercepat, proses-proses yang telah berlangsung sebelumnya. Salah satunya adalah tumbuhnya ketimpangan-ketimpangan sosial. Apakah Marx tetap diperlukan untuk memahami faktor-faktor di balik ketimpangan, bentuk-bentuk dan kemungkinan melawannya? Kami membahas soal-soal ini dengan Marcello Musto, seorang profesor sosiologi di York University, Toronto dan sosok otoritatif dari kebangkitan studi Marxis belakangan ini.

Kontribusinya mencakup serangkaian monograf brilian dan sukses, yaitu Another Marx: Early Manuscripts to the International (Bloomsbury, 2018) dan The Last Years of Karl Marx: An Intellectual Biography (Stanford, 2020). Ia juga menyunting berbagai bunga rampai, termasuk Marx’s Capital after 150 Years: Critique and Alternative to Capitalism (Routledge, 2019), The Marx’s Revival: Key Concepts and New Interpretations (Cambridge University Press, 2020). Tulisan-tulisannya bisa dilihat di www.marcellomusto.org.

Saturday, April 3, 2021 0 comments

Demokrasi dalam Krisis. Karl Marx Dapat Menolong.

            Karl Marx sering dianggap sebagai pemikir ekonomi murni. Tetapi sosialis terkenal itu adalah seorang demokrat yang berkomitmen – dan tulisan-tulisannya menawarkan solusi potensial untuk mendemokratisasi sistem politik kita yang tidak demokratis.

Ada pengakuan luas dari kalangan kiri AS dan Eropa bahwa institusi demokrasi kita gagal. Dari kampanye Bernie Sanders untuk revolusi politik melawan struktur oligarki AS hingga pidato Rebecca Long-Bailey untuk menghapuskan UK House of Lords (Dewan Bangsawan Britania Raya) dan memberikan “kejutan seismik” kepada Britania, para sosialis demokratis terkemuka sangat menyadari bahwa gerakan untuk tatanan sosial yang adil tak dapat dipisahkan dari keharusan mendemokratisasi sistem politik kita.

Tuesday, March 30, 2021 0 comments

Cina, Negara Imperialis Baru?

SEBAGAI negara yang tengah menjadi kekuatan global baru, Cina sering dianggap sebagai kekuatan baru yang akan menggantikan hegemoni Amerika Serikat yang tengah meredup. Ekspansi ekonomi besar-besaran ke banyak negara yang diiringi dengan meningkatnya pengaruh politik global Cina, membuat pandangan ini tidak sepenuhnya keliru. Tidak heran jika kemudian kebangkitan pengaruh politik tersebut menciptakan banyak pertanyaan terkait status Cina dalam kapitalisme kontemporer.

Dalam konteks ini, salah satu pertanyaan yang kerap diajukan adalah apakah Cina dapat dikatakan sebagai negara imperialis baru? Bagi kalangan Marxis, masifnya perkembangan ekonomi Cina pasca adopsi sistem kapitalisme-pasar (dalam derajat tertentu tentunya) yang diiringi peningkatan pengaruh ekonomi globalnya membuat pertanyaan tersebut menjadi terbukti dengan sendirinya. Tidak heran jika kemudian banyak yang menganggap Cina dapat dimasukkan ke dalam kelompk yang sama dengan kekuatan negara-negara kapitalis imperialis lainya.  Implikasi dari perspektif ini bagi Gerakan sosial Indonesia tentu sangat jelas: bahwa kebangkitan pengaruh Cina di tingkatan global harus disikapi secara sama seperti kekuatan imperialis lainnya, dengan perlawanan. Dengan kata lain, Cina sebagai kekuatan baru harus ditempatkan sebagai musuh selayaknya kekuatan imperialisme negara-negara barat lainnya.

Friday, March 26, 2021 0 comments

Bersama Sosialisme, Perempuan Lebih Bahagia

            Di suatu hari, 1997, Jake gembira. Ia berhasil merekrut seorang perempuan untuk posisi strategis di perusahaan start up-nya. Dalam wawancaranya, perempuan ini berhasil mengalahkan dua finalis laki-laki yang juga sangat kualified. Namun setelah mendengarkan ocehan para feminis, Jake meyakinkan bosnya untuk merekrut perempuan ini. Di kemudian hari, ia memang terbukti cerdas, kompeten, dan pekerja keras. Perusahaan Jake berkembang pesat. Setelah mendapatkan promosi jabatan, perempuan ini mengumumkan dirinya hamil. Inilah awal lahirnya bencana.

Perusahaan start up Jake tidak mempunyai kebijakan cuti hamil (maternity leave). Dengan berat hati, perusahaan memberikan cuti hamil 12 minggu dengan gaji penuh.

Thursday, March 18, 2021 0 comments

Aksi Massa dan Desakan Pembangunan Politik Alternatif

Fenomena aksi massa akhir-akhir ini menjadi tren untuk melawan narasi kebijakan neoliberal yang hanya menguntungkan segelintir orang, dalam hal ini adalah para elite pemerintah dan investor. Aksi massa digunakan untuk membendung dan mencabut kebijakan yang sama sekali tidak pro rakyat. Sayangnya, ada kecenderungan gerakan aksi massa yang dilakukan masih sektoral dan kurang terkonsolidasi. Mahasiswa berkumpul dengan kelompoknya sendiri, buruh dengan kelompoknya sendiri, begitupun juga dengan ‘petani’. Tulisan ini hendak menjelaskan pentingnya aksi massa lintas sektor dan desakan untuk membentuk sebuah komite alternatif di tengah dominasi oligarki.

Friday, March 12, 2021 0 comments

Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (3): Demokrasi yang Radikal Membutuhkan Harapan

 

Demokrasi yang Radikal Membutuhkan Harapan

Jika pendidikan dan institusi pendidikan demokrasi egaliter dianggap sesuatu yang radikal dikarenakan tujuannya yang adalah untuk mengadvokasi perubahan politik dan sosial yang menyeluruh, maka mengutip Giroux, “adalah suatu hal yang mustahil menjadi seorang yang radikal tanpa dipenuhi harapan.” Pendidikan dan institusi pendidikan demokratis harus turut memulihkan apa yang disebut oleh filsuf Marxis Ernst Bloch (1995) dalam bukunya The Principle of Hope ketika berbicara mengenai harapan, ‘forward dreaming‘ atau ‘mimpi ke depan’.

Wednesday, March 3, 2021 0 comments

Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (2): Komitmen Mendalam terhadap Demokrasi

2. Komitmen Mendalam Terhadap Demokrasi

a. Kebijakan Institusi Pendidikan Demokratis

Seperti yang telah disebutkan di awal seri tulisan ini, nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi dan direproduksi oleh negara dalam masyarakat kita adalah hierarki dan paternalisme. Keduanya lalu menjelma menjadi budaya yang diinstitusionalisasikan institusi pendidikan kita, seperti tenaga pengajar yang kerap merasa dirinya sebagai sumber pengetahuan tunggal, sedangkan para siswa/i hanya dianggap sebagai individu-individu muda bak tong kosong yang perlu diisi.

Friday, February 26, 2021 0 comments

Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (1): Terbuka akan Kelemahan

 

BEBERAPA pemikir pendidikan kritis seperti Michael Apple dan Henry Giroux, yang mengembangkan gagasan John Dewey, Antonio Gramsci, dan Paulo Freire tentang sekolah-sekolah yang berciri emansipatoris, mengusulkan konsep pendidikan yang diberi nama democratic education (pendidikan demokratis), yang kemudian diaktualisasikan ke dalam democratic schooling (sekolah demokratis) dan democratic educators (pendidik demokratis).

Tidak ada definisi yang disetujui secara umum tentang suatu pendidikan, pendidik dan sekolah/institusi pendidikan yang demokratis. Sebab, pengertian dari demokrasi itu sendiri masih menjadi perdebatan panjang (untuk memahami perdebatan terkini tentang pendidikan demokratis, lihat Sant, 2019). Akan tetapi dalam praktiknya secara umum, termasuk di Indonesia, demokrasi masih sering didefinisikan atau dipahami secara dangkal sebagai proses pemilihan pemimpin politik yang dilakukan secara kompetitif untuk menempati posisi legislatif dan/atau eksekutif.

Friday, February 19, 2021 0 comments

Ruang-Ruang Kontra-Hegemoni dalam Dunia Pendidikan

GAMBARAN tentang bagaimana sistem pendidikan kita bekerja, seperti halnya tentang cara kerja sistem sosial yang ada, terbilang kompleks dan kelam, seakan merenggut harapan kita akan sebuah perubahan. Apakah mungkin ada harapan untuk perubahan di dalam sebuah sistem yang hegemonik? Peter Mayo, seorang ahli pendidikan kritis dari Malta, sedikit memberi kita harapan ketika ia mengatakan bahwa “hegemoni tidak pernah sempurna”: selalu ada ruang dan kesempatan untuk menentang dominasi elite dan membentuk kontra-hegemoni. Kita bicara di sini tentang bagaimana membangun suatu kontra-hegemoni yang memanusiakan serta menawarkan antitesis dari nilai-nilai dominan yang menindas.

Saturday, February 13, 2021 0 comments

“Merdeka Belajar” Gaya Menteri Nadiem: Apanya yang Merdeka?

           TIADA hari kita lalui tanpa mendengar seruan mengenai pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa dan negara. Beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 menimpa Indonesia di awal 2020, jargon “Revolusi Industri 4.0” digaungkan tanpa henti di media dan para politisi yang ingin terlihat progresif tak kunjung berhenti bicara mengenai pentingnya “revolusi” ini segera diimplementasikan dalam semua lini kebijakan negara, termasuk, dan mungkin terutama, di sektor pendidikan.

“Agar kita tidak kalah bersaing dan demi masa depan bangsa kita,” begitulah kira-kira slogannya.

Setelah terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai kepala negara yang “baik”, salah satu wujud aktualisasi “revolusi” ini adalah terpilihnya Nadiem Makarim untuk mengepalai arah baru pendidikan Indonesia. Layaknya menginisiasi startup yang menawarkan pembaharuan, Nadiem membawa konsepsi baru tentang arah pendidikan bangsa kita, yang ia namakan “Merdeka Belajar”. Namun, jika dilusuri lebih lanjut, definisi “merdeka” Nadiem hanya mendaur-ulang logika lama pendidikan yang harus mendekatkan diri pada logika pasar, bahwa tujuan utama pendidikan tak lain adalah untuk mencetak tenaga kerja.

Friday, February 5, 2021 0 comments

'Front Pembela Islam’ yang Sesungguhnya

 

 BELUM lama ganti tahun, Indonesia sudah ribut lagi. Pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI), organisasi yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pion penting dari arus populisme Islam di Indonesia dan aktor kunci mobilisasi gerakan Islam setelah Reformasi 1998. Mereka tidak pernah—dan tidak berkeinginan—untuk jadi partai politik. Namun, kekuatan mereka diperlukan oleh siapapun rezim politik yang ingin bermain dalam pentas politik Indonesia. Mereka menjadi kekuatan pemukul yang efektif terhadap siapapun yang dianggap mengancam rezim, mulai dari kelompok yang dilabeli “liberal”, “komunis”, hingga kelompok-kelompok minoritas keagamaan.

Laporan Wikileaks menunjukkan bahwa FPI banyak menerima dana dari Polri, dan jejaring intelijen nasional, yang tentu tidak pernah diafirmasi secara resmi baik oleh penyandang dana maupun yang diberi dana.

Sejarah dan rekam jejak FPI bisa dibaca di berbagai laporan riset hingga Wikipedia, tapi ada satu hal menarik: mengapa mereka menggunakan istilah ‘front’, yang sebenarnya awal mulanya berakar dari gagasan gerakan komunisme dan kelompok kiri dalam melawan fasisme di awal abad ke-20?

Wednesday, January 27, 2021 0 comments

Konsep Sosialisme Marx (Bagian II)

Kritik terhadap Marxis Jerman

Pembahasan lebih lengkap tentang masyarakat pasca-kapitalis dari Marx, yang mengembangkan komentarnya tentang masyarakat baru di Capital, terletak dalam karyanya Critique of the Gotha Program tahun 1875. Karya ini memuat kritik tajam terhadap “Marxis” Jerman di masa itu yang menyepakati penyatuan organisasional dengan partai sosialis yang didirikan Ferdinand Lassalle. Lasalle sebelumnya dikecam Marx sebagai “diktator masa depan kelas pekerja.” Marx menyadari bahwa pengikutnya sendiri menderita kecacatan konsepsi yang akut mengenai alternatif terhadap kapitalisme.

Marx secara langsung menentang kegagalan Program Gotha “untuk membahas keadaan masa depan dari masyarakat komunis” (MECW 24:95). Dengan melakukan itu, ia membedakan fase komunisme yang lebih tinggi dan fase komunisme lebih rendah. Kata “sosialisme” tidak pernah muncul di dalam Critique, karena bagi Marx sosialisme

Thursday, January 21, 2021 0 comments

Konsep Sosialisme Marx (Bagian I)

 

Meskipun karya Marx terus memberi pengaruh sangat besar terhadap perdebatan mengenai watak kapitalisme, ada satu dimensi kerangka berpikirnya yang paling jarang diteorikan yaitu perihal konsepsinya tentang bentuk masyarakat yang akan menggantikan kapitalisme. Meskipun Marx tidak pernah memfokuskan diri membuat karya khusus yang membahas kehidupan setelah kapitalisme, sebagian besar karena keengganannya terlibat dalam refleksi utopis dan spekulatif soal masa depan, kritiknya secara khusus perihal pusat realitas kapitalisme—seperti karakter ganda dari kerja, waktu kerja yang diperlukan secara sosial, serta hukum soal nilai dan nilai lebih—mengisyaratkan suatu bentuk relasi sosial di masa depan yang jauh lebih membebaskan daripada yang disadari secara umum.

Berbagai perdebatan dan diskusi sejak 2018 lalu yang mengiringi perayaan 200 tahun kelahiran Karl Marx telah menyediakan kesempatan berharga bagi pengujian kembali terhadap berbagai aspek politik dan filosofis dari peninggalan Marx yang sebelumnya terbengkalai. Yang paling utama di antaranya ialah sejauh mana kerangka berpikir Marx memberikan sumber daya konseptual untuk mengembangkan energi emansipatoris yang layak menghadapi kapitalisme di abad 21.

Friday, January 15, 2021 0 comments

Kapitalisme Merusak Sains

 

Marketisasi merangkak telah menciptakan insentif yang merugikan bagi para peneliti – korupsi besar-besaran yang terus mengancam sains itu sendiri.

 Universitas sudah eksis sebelum kapitalisme. Dalam kehadirannya, ia terkadang menolak untuk patuh kepada dikte pasar kapitalis, memilih untuk mengejar kebenaran dan pengetahuan ketimbang profit. Akan tetapi, kapitalisme melahap apapun yang bisa ia lahap. Sementara kapitalisme terus melebarkan dominasinya, menjadi sedikit mengejutkan bahwa universitas modern semakin patuh kepada apa yang disebut Ellen Meiksins Wood “dikte pasar kapitalis – imperatif kompetisi, akumulasi, maksimalisasi laba, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.”

Di dunia akademis, imperatif pasar kapitalis memanifestasikan dirinya dalam cara yang terlihat: publish atau binasa, funding atau paceklik.

Tanpa investasi publik, universitas-universitas dipaksa untuk sesuai dengan aturan sektor swasta, yaitu, beroperasi layaknya bisnis. Dalam bisnis, tentu saja, segalanya adalah tentang hasil akhir keuangan (bottom line) –

Thursday, January 7, 2021 0 comments

Sekaleng Coca-Cola dan Realita (2)

 

DALAM artikel sebelumnya kita telah membahas bagaimana bentuk masyarakat hari ini mampu dikenali hanya melalui sekaleng Coca-Cola. Masyarakat yang kita maksud tentu merupakan kumpulan dari relasi-relasi manusia dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Bayangkan saja pemandangan orang yang berlalu-lalang di Shibuya, Time Square, atau Stasiun Dukuh Atas. Ratusan hingga ribuan orang dari latar belakang berbeda, pekerjaan yang berbeda dan dengan urusannya yang juga berbeda bertemu di suatu waktu dan tempat yang sama. Siapa yang membuat kemejanya? Siapa yang menyiapkan sarapannya tadi pagi? Atau bahkan siapa yang membuat mereka sampai bertemu di saat yang bersamaan di sana? Keterkaitan dan kesalinghubungan antar orang atau antar kelompok orang itu bersifat kasat mata.

Sehingga yang menampak cuma suatu kumpulan orang banyak yang memenuhi suatu tempat pada waktu tertentu. Seperti itulah kiranya suatu masyarakat. Lantas apa yang membuatnya hadir dan bertahan? Tentu karena ada manusianya, tapi ada yang lebih esensial di balik manusia-manusia itu. Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.

Friday, January 1, 2021 0 comments

Sekaleng Coca-Cola dan Realita (1)

 

BEBERAPA dari kita yang bekerja di bawah teriknya langit Jakarta pada siang hari, pastinya akan melihat minuman kaleng merah dengan font khas berwarna putih di dalam lemari pendingin warung bagaikan oasis di padang gurun. Iya, betul. Kali ini kita akan membahas Coca-Cola dalam kemasan kaleng. Ada apa dengan sekaleng minuman ini? Tentu ada apa-apanya sehingga saya membahas kaleng ini. Mari kita bedah sedikit perihal seonggok kaleng ini. Suatu benda berbentuk tabung dari kaleng dengan lubang untuk minum yang tersegel aman khas pabrik. Ukuran tinggi sekitar 5 sampai 10 cm, dengan diameter kira-kira 2 cm dan berisi cairan soda sekitar 250ml. Namun, apakah kaleng berisi cairan segar ini muncul secara ujug-ujug di lemari pendingin warung? Jawabnya tidak. Sekaleng Coca-Cola ini hadir melalui serangkaian proses yang panjang. Proses yang bagaimana? Akan kita jawab dalam tulisan ini.

Sudah tentu benda-benda yang ada di lemari pendingin itu dibuat. Benda yang dibuat manusia itu digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Karena kemampuan manusia terbatas, manusia membutuhkan sarana-sarana untuk pemenuhan kebutuhannya. Salah satunya pada masa awal-awal kehadiran nenek moyang manusia, mereka mulai membuat alat-alat sederhana dari batu atau kayu.

 
;