TIADA
hari kita lalui tanpa mendengar seruan mengenai pentingnya pendidikan untuk
kemajuan bangsa dan negara. Beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 menimpa
Indonesia di awal 2020, jargon “Revolusi Industri 4.0” digaungkan tanpa henti
di media dan para politisi yang ingin terlihat progresif tak kunjung berhenti
bicara mengenai pentingnya “revolusi” ini segera diimplementasikan dalam semua
lini kebijakan negara, termasuk, dan mungkin terutama, di sektor pendidikan.
“Agar
kita tidak kalah bersaing dan demi masa depan bangsa kita,” begitulah kira-kira
slogannya.
Setelah
terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai kepala negara yang “baik”, salah satu
wujud aktualisasi “revolusi” ini adalah terpilihnya Nadiem Makarim untuk
mengepalai arah baru pendidikan Indonesia. Layaknya menginisiasi startup yang
menawarkan pembaharuan, Nadiem membawa konsepsi baru tentang arah pendidikan
bangsa kita, yang ia namakan “Merdeka Belajar”. Namun, jika dilusuri lebih lanjut,
definisi “merdeka” Nadiem hanya mendaur-ulang logika lama pendidikan yang harus
mendekatkan diri pada logika pasar, bahwa tujuan utama pendidikan tak lain
adalah untuk mencetak tenaga kerja.