Sunday, December 22, 2019 0 comments

Hari Ibu Antara Domestikasi Perempuan dan Penghormatan Tak Setara



22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu yang diperingati setiap tahun di Indonesia. Berbagai perayaan mulai dari pengucapan terima kasih dan cinta kepada Ibu, pemberian bunga dan atau hadiah-hadiah lainnya, serta kontes kefemininan macam lomba berbusana kebaya, lomba memasak, lomba merangkai bunga, sebenarnya mengandung gagasan seksis. Seksisme adalah diskriminasi, stereotip, dan atau prasangka berdasarkan pembedaan jenis kelamin. Perayaan Hari Ibu demikian mengandung seksisme karena menanamkan gagasan bahwasanya kerja-kerja domestik atau rumah tangga seolah-olah merupakan kodrat perempuan. Perempuan dibebani peran hasil konstruksi sosial untuk menanggung sepenuhnya kerja-kerja rumah tangga (memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, dan semacamnya) serta merawat anak dan suami.
Kerja domestik ini pada dasarnya adalah kerja untuk memproduksi dan mereproduksi tenaga kerja. Ibu—khususnya Ibu rumah tangga—diwajibkan memegang peran dominan mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak seiring dengan diajari keterampilan dan pengetahuan lewat sekolah sampai sang anak siap pakai untuk pasar tenaga kerja. Selain itu, dalam corak produksi kapitalisme, kewajiban Ibu merawat, memberi makan suami, pada dasarnya adalah kerja untuk menyegarkan kembali tenaga kerja yang baru saja dihisap kapitalis dalam satu hari agar siap untuk digunakan dan dihisap lagi hari berikutnya
Kerja domestik begini kemudian diagung-agungkan sebagai kepahlawanan dan pengorbanan kaum Ibu, termasuk lewat perayaan Hari Ibu. Namun pada saat yang bersamaan dengan penekanan demikian maka kapitalisme tidak perlu memberikan fasilitas dan tunjangan kepada kaum Ibu. Kecuali bila dipaksa oleh perjuangan kaum perempuan dan ibu. Sedangkan di sisi lain, perempuan pada umumnya dan kaum Ibu pada khususnya juga dijadikan sasaran pemasaran berbagai komoditas atau produk kapitalisme. Mulai dari produk kosmetik, busana, indutri perbelanjaan, dan sebagainya.
Friday, December 20, 2019 0 comments

Chile, Revolusi telah Dimulai



Demonstrasi besar melanda Chile. Seruan pemogokan umum dihadiri lebih dari satu juta orang. Mereka memenuhi jalanan Chile selama beberapa kali dalam dua bulan terakhir, terutama di Ibukota Santiago. Gerakan pemberontakan ini bermula dari protes terhadap kenaikan tarif transportasi yang dipimpin oleh kaum muda. Dari kampanye penolakan kenaikan ini, sebuah gerakan massa telah berkembang melawan pemerintah yang lalu ditanggapi dengan represi brutal.  
Banyak orang terkejut, karena Chile selama ini dikenal sebagai salah satu negeri paling makmur di Amerika Latin. Barangkali keterkejutan ini juga menghampiri Pinera, sang Presiden, yang baru awal Oktober lalu mengatakan dengan bangga bahwa Chile adalah oase di tengah gejolak sosial yang terjadi di negeri-negeri Amerika Latin. Memang, selama ini Chile dikenal sebagai role model pembangunan negeri di Amerika Latin. Tingkat pertumbuhan ekonominya kuat, kemiskinan yang menurun dan sistem politik yang nampaknya stabil sejak akhir pemerintahan Augusto Pinochet hampir 30 tahun lalu.
Namun bila kita melihat lebih dalam, Chile adalah salah satu negeri yang paling tidak setara didunia. PBB sendiri mengestimasi bahwa 1% warga terkaya di sana menghasilkan sepertiga kekayaan nasional. Komentar-komentar dari kelas menengah dan lapisan bawah kelas pekerja sering kali mengungkap ketimpangan yang berlangsung puluhan tahun antara lain: upah minimum yang rendah, pertumbuhan upah yang lambat, perlindungan serikat yang lemah, sistem pensiun yang diprivatisasi, sistem pendidikan bertingkat yang membuat pelajar miskin berhutang, perumahan yang tidak terjangkau, perawatan kesehatan yang buruk, dan konstitusi yang masih mempertahankan sisa-sisa kekuasaan militer. Belum lagi korupsi yang banyak dilakukan oleh para pejabat. Semua ini menumpuk, bak gunung es yang saat ini meledak. Kebijakan menaikkan tarif transportasi hanyalah pemicu demonstrasi besar ini.
Thursday, December 12, 2019 0 comments

Pemogokan Prancis dan Pelajaran bagi Buruh



Gerakan revolusioner kembali pecah di Prancis. Gerakan ini dalam skala jauh lebih besar dari Gerakan Rompi Kuning karena melibatkan banyak pekerja. Menara Eiffel tutup, 11 dari 16 stasiun kereta bawah tanah serta kereta cepat membatalkan perjalanan, dan bandara yang melayani penerbangan dilaporkan berhenti. Prancis diselimuti keheningan tanpa kelas pekerja. Listrik dimatikan. Rumah, kantor, jalanan dan sekolah tutup. Transpotasi lumpuh saat protes yang dilakukan di seluruh Prancis mengikuti pemogokan umum yang ditujukan untuk menolak reformasi pensiun. Pekerja berpendapat bahwa reformasi yang diusulkan akan membuat mereka bekerja lebih lama untuk pensiun yang lebih kecil.
Pemogokan yang berlangsung sejak 5 Desember telah melumpuhkan transportasi, jalur distribusi dan ekonomi. Pekerja transportasi, guru, pengontrol lalu lintas udara, pemadam kebakaran, dokter dan perawat mogok. Mahasiswa dan pelajar meninggalkan kelas dan bergabung di jalanan bersama pekerja. Kabut gas air mata memenuhi jalanan seiring betrokan yang terjadi antara demonstran dan polisi. Mengantisipasi besarnya pemogokan ini Pemerintah Prancis mengerahkan ribuan polisi tambahan. Di sepanjang rute demontrasi utama kota Paris, toko-toko dan bank-bank tutup. Di Paris 90 orang ditangkap. Macron mengirim mobil lapis baja, meriam air, dan ribuan polisi anti huru-hara bersenjata berat untuk menyerang para pemogok yang berbaris di kota-kota di seluruh Prancis.
Menurut angka resmi pemerintah jumlah pemogokan ini mencapai 615 ribu. Namun menurut serikat buruh CGT, angka ini mencapai tiga kali lipat dari laporan resmi. Lebih dari separuh dari populasi Prancis mendukung atau bersimpati dengan pemogokan ini. Meskipun pejabat dan penyelenggara demo memberikan angka yang saling bertentangan, demonstrasi ini adalah yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak ada ketetapan sebelumnya kapan pemogokan ini diakhiri, namun partisipasi yang meluas dalam pemogokan ini menunjukkan akar ketidakpuasan sosial ini sulit untuk diakhiri.  
Friday, December 6, 2019 0 comments

Marxisme dan Tiga Samurai

 

ANDA mungkin sudah sering mendengar tentang peristiwa penting yang pernah berlangsung dari abad ke-15 sampai abad 16. Mulai dari jatuhnya Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium ke tangan Kekaisaran Turki Ottoman pada 1453, kemenangan Kerajaan Perancis dalam Perang 100 tahun atas Inggris di tahun yang sama, mendaratnya Christopher Columbus di salah satu pantai kepulauan Bahamas pada 1492, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg yang melahirkan Rennaisance, Reformasi Protestan Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma, berkembangnya merkantilisme di Venesia, Genoa dan Pisa, hingga maraknya penggunaan bubuk mesiu untuk meriam dan senapan sundut yang sejak saat itu akan mengubah jalannya sejarah manusia. Namun sepertinya Anda jarang mendengar kisah menarik tentang para samurai selain Seven Samurai atau Rurouni Kenshin.

Kala abad itu dunia bergejolak, Jepang punya dinamika tersendiri, yaitu suatu periode dalam sejarah negeri matahari terbit yang dikenal dengan Sengoku Jidai atau Zaman Negeri yang Berperang. Periode ini ditandai sebagai era paling kacau balau yang dihiasi oleh serangkaian perang saudara antar provinsi tanpa henti. Pertikaian kembali dimulai setelah berakhirnya Perang Onin tahun 1467 yang memporak-porandakan Kyoto dan daerah-daerah disekitarnya. Ketidakberdayaan dan surutnya pamor Keshogunan Ashikaga dimanfaatkan dengan baik oleh para panglima perang samurai dan beberapa klan memperebutkan kekuasaan di pulau itu.

Wednesday, November 27, 2019 0 comments

Bagaimana Memenangkan Revolusi?



Banyak aktivis gerakan yang menginginkan revolusi dan menunggu datangnya peristiwa itu. Namun ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang kesiapan mereka menghadapi revolusi, mereka lantas mundur ke belakang. Mereka tidak membahas ini lebih jauh. Bagi mereka gerakan adalah segalanya. Pertanyaan teori tidak pernah hinggap di kepala mereka, kalaupun ada itu hanya sebentar dan lalu hilang. Mereka-mereka ini adalah subyek pasif revolusi. Sadar maupun tidak mereka telah mengadopsi sikap anti-teori. Sikap ini bahaya, dan dari sudut pandang pelopor ini fatal. Sikap seperti ini tidak pernah bisa memimpin revolusi apalagi memenangkannya.
Revolusi merupakan pemberontakan spontan dari massa. Revolusi bisa terjadi oleh berbagai sebab. Bisa terjadi karena pembusukan politik dari skandal-skandal korupsi; oleh tirani; oleh krisis ekonomi; dan karenanya revolusi tidak pernah mempunyai tanggal kapan ia bisa terjadi. Untuk itu mustahil menciptakan secara artifisial situasi yang melatar-belakangi revolusi.  Lewat kontradiksinya kapitalisme menyediakan seluruh bahan bakar untuk terjadinya revolusi itu sendiri.
Tapi tidak setiap revolusi secara otomatis mengarah pada kemenangan sosialis. Sejarah membuktikan ini berkali-kali. Bahkan banyak demonstrasi dan pemogokan besar dalam sejarah yang mampu menggulingkan sebuah rezim belum mampu menggulingkan sistem kapitalisme. Seperti halnya Gerakan Reformasi 98’ meskipun massa tumpah ruah di jalanan serta mampu menggulingkan kediktatoran Soeharto namun masalah kekuasaan masih tertinggal di belakang. Rezim berganti tapi pondasi kapitalisme masih utuh.
Friday, November 22, 2019 0 comments

Apakah Sosialisme Sudah Gagal?



Semenjak runtuhnya Uni Soviet hampir semua orang mengatakan sosialisme sudah gagal. Krisis di Venezuela juga mendorong banyak orang untuk berteriak bahwa sosialisme tidak dapat bertahan. Dari semua pendapat yang mengalir ini apa yang ingin disampaikan adalah sistem kapitalisme, kendati semua keburukannya, merupakan sistem yang paling mungkin bagi umat manusia. Kejatuhan sosialisme Uni Soviet dianggap sebagai kegagalan dari teori di baliknya, yakni teori Marxisme.
Semenjak itu semua orang berbondong-bondong mencari-cari ‘ide-ide baru’. Mereka terus mencari perpaduan ideologi atau jalan tengah antara sosialisme dan kapitalisme. Dari ini kita mengenal ‘teori baru’ seperti teori Sosialisme Abad 21, yang mengklaim berbeda dengan sosialisme pendahulunya yang ada di Uni Soviet. Adalah Heinz Dieterich seorang sosiolog Frankfurt yang belajar dengan Adorno, Horkheimer dan Habermas yang memperkenalkan teori Sosialisme Abad 21. Heinz Dieterich, sang ‘penemu’ Sosialisme Abad 21, mengklaim bahwa revolusi dan perjuangan kelas sudah tidak lagi dibutuhkan. Dieterich menganggap  jika pasar mampu dijinakkan maka pasar akan memenuhi kebutuhan semua orang.
“Jika pasar tidak monopolistik dan jika Anda memiliki daya beli untuk barang yang Anda hasilkan dan untuk layanan, maka pasar berkoordinasi cukup baik. Anda dapat pergi ke negara raksasa, seperti Amerika Serikat, dan Anda dapat membeli apa saja, di mana saja di negara raksasa itu, kapan saja. Jadi, [pasar] itu berfungsi dengan baik, jika Anda memenuhi dua kondisi ini.” (Rekaman video Heinz Dieterich oleh O. Ressler, Jerman)
Saturday, November 16, 2019 0 comments

BTI dan Warisan-Warisannya



Sekilas Awal Sejarah BTI
Tak seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), atau Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),[1] BTI (Barisan Tani Indonesia) bersama dengan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) menjadi beberapa onderbouw atau organisasi (yang dianggap) terafiliasi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang belum dikaji secara khusus dan menyeluruh sebagai sebuah organisasi nasional, dalam satu karya akademik.[2] Padahal signifikansi pengaruh BTI, khususnya di tahun 1960-an, sama sekali tak bisa disepelekan. Betapa pentingnya peran organisasi tani ini di era itu, tergambar dari keanggotaannya, seperti yang ditulis Karl J. Pelzer,
“Pada bulan Maret 1954, BTI mengklaim bahwa jumlah anggotanya 800.000 orang dan sekitar 2.000.000 orang pada bulan April 1955. Pada waktu pemilihan umum yang diselenggarakan akhir tahun 1955, sekretarian BTI melaporkan bahwa jumlah anggotanya 3.300.000 orang. Pertambahan yang mengagumkan ini disebabkan oleh kampanye yang dilakukan golongan komunis secara gencar sebelum pemilihan umum. Dalam sepuluh tahun berikutnya, BTI mengalami pertambahan keanggoaan yang sangat pesat dan pada tahun 1965 mengklaim bahwa jumlah anggotanya tak kurang dari 8.500.000 orang… Tahun 1965, cabang BTI dapat ditemukan praktis di seluruh kabupaten dan di lebih dari 80 persen kecamatan yang ada di Indonesia”.[3]
Friday, November 8, 2019 0 comments

Pelajaran dari Kekalahan Revolusi Bolivia



Gelombang Revolusi Amerika Latin sekali lagi menerima pukulan telak dengan lengsernya Presiden Bolivia Evo Morales pada 10 November. Jatuhnya Evo Morales adalah kulminasi dari usaha kudeta yang telah bergulir selama beberapa minggu terakhir. Walau bukan untuk pertama kalinya kekuatan reaksi mencoba menggulingkan pemerintahannya, kali ini mereka berhasil. Pembangkangan polisi, penembak jitu yang menembaki buruh tambang, laporan dari OAS (Organisasi Negara-negara Amerika) yang mempertanyakan validitas pemilu, dan akhirnya, jerami yang mematahkan punggung onta, angkatan bersenjata yang meminta agar Evo Morales turun, semua ini menjurus ke babak terakhir dari drama ini.
Ketika artikel ini ditulis, Evo Morales telah menerima suaka politik di Meksiko. Ini jelas karena kekuatan oligarki Bolivia, kaum tuan tanah dan kapitalis, tidak akan memaafkannya dan berniat menjebloskannya ke penjara – bahkan menggantungnya bila perlu – karena telah memimpin Revolusi rakyat pekerja Bolivia yang mempermalukan para tuan-nyonya terhormat ini. Reaksi menginginkan balas dendam yang berdarah-darah.
Kita semua patut, dan harus, bertanya bagaimana Revolusi Bolivia bisa berakhir dengan kekalahan ini. Tidak cukup mengutuk kudeta reaksioner ini. Menjawab pertanyaan ini akan mempersenjatai kita dengan perspektif, strategi dan taktik untuk mematahkan reaksi yang kini tengah menunjukkan taringnya dan siap membatalkan pencapaian-pencapaian besar yang telah diraih oleh rakyat pekerja Bolivia selama dekade terakhir.
Wednesday, November 6, 2019 0 comments

Joker sebagai Musuh Penindas



Joker menjungkirbalikkan konsep film pahlawan super. Bukan hanya dengan menempatkan latar dan muasal lahirnya Joker yang biasanya dijadikan penjahat gila sebagai fokus utama. Namun juga dengan membongkar kedok keluarga Wayne yang biasanya dipoles pencitraan cantik serta meludahi Batman jauh sebelum ia memakai jubah dan topeng. Sekaligus, tentu saja, membalik pakem film, termasuk utamanya menolak jadi bagian waralaba semesta film pahlawan super, atau dalam hal ini: DC Extended Universe (DCEU).
Berbeda dengan Joker-Joker versi lainnya yang identitasnya lahir karena kegilaan. Arthur tidak jadi Joker karena tercebur ke dalam cairan limbah kimia seperti yang diperankan Jack Nicholson. Ia juga tidak menjadi penjahat gila karena terinspirasi sosok Batman yang menghajar penjahat dan mafia, sebagaimana versi Joker yang diperankan Heath Ledger. Tidak. Versi Joaquin Phoenix ini sejak awal sudah mengidap penyakit jiwa atau lebih tepatnya gangguan mental. Ia hanya dicap orang aneh. Barulah setelah ia berusaha melawan balik—atau membalas dendam—ia kemudian (dicap) gila dan lahirlah Joker.
The Magnificient Seven yang terinspirasi Shichinin no Samurai karya Kurosawa Akira punya dialog menarik soal ini. Emma Cullen, seorang petani yang jadi janda karena suaminya dibunuh bandit pemeras desanya mendatangi Sam Chisolm sang gun slinger untuk mengadukan tentang konglomerat pertambangan dibalik para bandit itu dan meminta bantuannya. Emma berkata, “Ia memerintahkan mereka membunuh suamiku, ia akan merampas segalanya yang kami miliki.” “Jadi kau mau balas dendam?” respon Sam. Emma menjawab, “Saya mau keadilan ditegakkan tapi kalau itu tak bisa saya dapatkan maka balas dendam pun akan saya terima.” Inilah intisarinya yang dalam film Joker juga tampak nyata. Mereka yang menutup pintu keadilan akan membuka banjir pembalasan. Mereka yang membuat reformasi damai tidak mungkin akan membuat revolusi dengan kekerasan mungkin terjadi.
Wednesday, October 30, 2019 0 comments

Mengapa Revolusi?



Pertanyaan mengenai revolusi merupakan pertanyaan yang menarik, tidak hanya bagi kaum revolusioner tapi juga bagi rakyat pekerja. Di tengah krisis yang semakin tajam, banyak orang berusaha mencari  jawaban mengenai apa itu revolusi, apa karakter revolusi dari zaman sekarang, dan bagaimana cara mencapainya. Revolusi sering kali digambarkan dengan kekerasan, penjarahan, dan kekacauan massa. Kendati dalam revolusi ada kekacauan massa, tapi tidak semua kekacauan massa dan kekerasan adalah esensi revolusi itu sendiri.
Di sisi yang lain ada juga yang mengaitkan revolusi sebagai perubahan-perubahan ‘radikal’ dalam batas sistem yang ada. Semisal terma-terma Revolusi Mental, Revolusi Budaya, Revolusi Birokrasi dsb. yang begitu akrab di masyarakat. Bagi kaum revolusioner revolusi merupakan bentuk pemberontakan kekuatan produksi melawan hubungan sosial yang ada. Sejak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas,  perjuangan ini termanifestasikan dalam perjuangan kelas; antara tertindas dan penindas, antara kelas penguasa dan dikuasai, antara kaum borjuis dan kaum proletar. Karl Marx menulis:
Friday, October 25, 2019 0 comments

Posisi Perempuan dalam Jerat Kapitalisme: Kembali pada Analisis Kelas


Judul Buku : Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression 
Penulis         : Tithi Bhattacharya (ed.) 
Penerbit       : Pluto Press.Press, 2017 
Tebal             : xii + 250 halaman
 
Di dalam masyarakat kapitalisme, kerja-kerja reproduksi sosial seperti merawat anak, memasak, dan mengurus rumah masih selalu dikonstruksikan secara sosial sebagai tanggung jawab individu perempuan (semata). Pengemban tanggung jawab tersebut ialah seorang istri/ibu; sementara suami/ayah dikonstruksikan secara sosial sebagai seorang yang hanya berkewajiban mencari nafkah.
Konsekuensinya, para perempuan selalu disibukkan dengan kerja reproduksi sosial di samping pekerjaan mereka di bidang lainnya (jika ada). Selain itu, konstruksi sosial ini menyebabkan pembagian gender yang asimetris di tengah-tengah masyarakat (Coontz, 1986).[1]
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisi tersebut tergambar dengan nyata, misalnya, dalam sebuah akun Instagram bernama @blacklistnannys. Melalui akun Instagram @blacklistnannys, para perempuan[2] ‘ex-majikan’ mem-blacklist para mantan ‘mbak’[3] dan ‘sus’[4] yang pernah bekerja di keluarga mereka dengan cara mem-posting foto dan kekecewaan (dan seringkali kemarahan) mereka terhadap para ‘mbak’ dan ‘sus’ tersebut. Melalui pengelola akun @blacklistnannys tersebut, para perempuan ‘majikan’ mengunggah foto sang ‘mbak’ atau ‘sus’ yang di blacklist sambil mendeskripsikan kesalahan-kesalahan yang diperbuat (dalam caption foto tersebut). Harapannya: agar para perempuan ‘majikan’ lain yang disebut dengan ‘moms’, yang akan mempekerjakan ART atau nanny, tidak merekrut mereka.
Friday, October 18, 2019 0 comments

Chili Telah Bangkit



Lirik lagu yang dibawakan oleh grup musik Chili, Quilapayún dikenal oleh jutaan orang di seluruh dunia: “El pueblo unido jamas sera vencido, La patria está forjando la unidad. De norte sebuah sur se movilizará”. (Rakyat bersatu tidak akan pernah dikalahkan, negara ini membangun persatuan, dari utara ke selatan itu akan turun ke jalan). Lagu ini ditulis pada bulan Juni 1973, hanya beberapa bulan sebelum represi brutal terhadap kelas pekerja Chili oleh diktator Augusto Pinochet, yang mengambil alih kekuasaan pada bulan September. Selama seminggu lebih, lirik lagu ini telah dikumandangkan keras di seluruh negeri dengan cara bersatu.
ada tanggal 13 Oktober, pemerintah Presiden miliarder Sebastián Pinera mengumumkan kenaikan ongkos kereta api metro sebesar 30 peso (sekitar 500 rupiah) pada jam sibuk. Pelajar sekolah menengah, yang telah memimpin mobilisasi anti-pemerintah selama dekade terakhir, segera merespon dengan melakukan protes dengan cara tidak membayar ongkos kereta. Ketidakpuasan dan perlawanan telah terbangun di seluruh Chile sejak restorasi demokrasi parlementer pada tahun 1990. Namun, mobilisasi saat ini jauh lebih besar sejak jatuhnya Pinochet dan secara politik paling signifikan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, rakyat Chili tidak lagi takut untuk melakukan protes, ketakutan karena ingatan 17 tahun kediktatoran militer yang brutal.
Thursday, October 10, 2019 0 comments

Gerakan Mahasiswa Bangkit Kembali, Kabar Buruk bagi Penguasa!

Demonstrasi mahasiswa pecah. Setelah lebih dari dua dekade jatuhnya kediktatoran Orde Baru gerakan mahasiswa bangkit kembali. Kali ini gerakan memobilisasi dirinya untuk menentang paket perubahan undang-undang yang dianggap kontroversi. Di antaranya yang menyebabkan kemarahan adalah RUU pelemahan terhadap KPK dan beberapa RUU lain yang mencakup kriminalisasi pasangan pra-nikah, pemberangusan terhadap komunisme hingga membuat ilegal menghina presiden. Mereka tahu bahwa pengesahan RUU ini akan menjadi serangan bagi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan demokrasi, yakni capaian-capaian yang telah dimenangkan oleh Gerakan Reformasi 1998.
Di Jakarta ribuan mahasiswa menduduki kantor DPR. 20 ribu polisi dan tentara dikerahkan. Dalam waktu dua hari kota-kota lain juga menempuh jalan yang sama. Ribuan mahasiswa mengorganisir dirinya keluar dari  kampus-kampus untuk menduduki kantor-kantor pemerintahan. Aparat yang tidak cukup sigap sepertinya terkejut melihat besarnya gerakan ini. Bentrokan pecah di jalanan. Asap gas air mata menyelimuti para demonstran. Respons negara adalah represi langsung. 500 orang dikabarkan ditangkap dan ada 90 lainnya yang dikabarkan hilang . Di Kendari 2 mahasiswa tewas. Di Makassar kendaraan lapis baja menabrakkan dirinya di antara kerumunan demonstran, yang menyebabkan 2 orang luka-luka.
Saturday, October 5, 2019 0 comments

Editorial: Reformasi yang dikhianati


Buruh, tani, kaum miskin kota, dan terutama kaum mahasiswa di seluruh Indonesia tengah bergerak bersama untuk menentang pemerintahan Jokowi. Belum lagi dilantik untuk masa jabatannya yang kedua, rejim ini sudah mencoba memaksakan sejumlah kebijakan yang jelas represif dan menindas rakyat, di antara lainnya revisi UUK, revisi UU KPK, RUU KUHP, dan RUU pertanahan.
Motivasi dari kebijakan-kebijakan ini sudah kita dengar dari pidato kenegaraan Jokowi pada 16 Agustus lalu, yakni untuk “berebut investasi.” Untuk menarik investasi ini, Jokowi katakan bahwa “cara-cara lama yang tidak kompetitif tidak bisa diteruskan. Strategi baru harus diciptakan. Cara-cara baru harus dilakukan.” Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri apa yang dimaksud Jokowi dengan cara-cara baru ini.
Lewat revisi UUK, pemerintah dapati cara baru untuk memeras lebih banyak keringat dan darah buruh, demi profit yang lebih besar bagi investor. Ini wajar-wajar saja dalam sistem kapitalisme. Investor mana yang tidak mengharapkan iklim bisnis dimana upah murah dengan jam kerja panjang dan buruh mudah di-PHK tanpa pesangon. 
Wednesday, October 2, 2019 0 comments

Represi September: Konsolidasi Kapitalisme dan Gelombang Perlawanan Rakyat


GELOMBANG perlawanan rakyat dari berbagai elemen terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang semakin oligarkis dan anti-demokrasi begitu menonjol dalam beberapa minggu terakhir. Di luar perhitungan kalangan gerakan sosial, aksi-aksi massa ini ditanggapi secara represif oleh aparatus keamanan negara. Mobilisasi jalanan oleh berbagai organisasi dan kolektif gerakan rakyat segera disambut oleh represi – peserta aksi digebuki, ditangkapi, dan bahkan difitnah. Bisa dikatakan bahwa represi yang terjadi akhir-akhir ini secara kualitatif merupakan represi dengan skala yang cukup besar dan karenanya cukup memukul perjuangan rakyat. Tetapi, gelombang perlawanan rakyat yang kembali muncul ini, terlepas dari segala dinamika dan kekurangannya, berupaya menjaga momentum perjuangan hingga detik ini.
Dinamika inilah yang menarik untuk dilihat lebih lanjut dan dijadikan acuan untuk pergerakan kita ke depan. Di sini, kita memerlukan suatu kerangka baca untuk memahami manuver-manuver liar yang diambil oleh para elite akhir-akhir ini dan mengevaluasi pola perlawanan kita. Tanpa kerangka baca yang lebih komprehensif, maka langkah kita ke depan akan cenderung defensif dan reaktif, lupa bahwa di tengah-tengah dominasi elite ada ruang-ruang di mana kita bisa lebih jauh memajukan tuntutan kita dengan strategi yang tepat.
Monday, September 30, 2019 0 comments

Gerakan Mahasiswa Bangkit Kembali, Preseden Buruk bagi Penguasa!



Demonstrasi mahasiswa pecah. Setelah lebih dari dua dekade jatuhnya kediktatoran Orde Baru gerakan mahasiswa bangkit kembali. Kali ini gerakan memobilisasi dirinya untuk menentang paket perubahan undang-undang yang dianggap kontroversi. Di antaranya yang menyebabkan kemarahan adalah RUU pelemahan terhadap KPK dan beberapa RUU lain yang mencakup kriminalisasi pasangan pra-nikah, pemberangusan terhadap komunisme hingga membuat ilegal menghina presiden. Mereka tahu bahwa pengesahan RUU ini akan menjadi serangan bagi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan demokrasi, yakni capaian-capaian yang telah dimenangkan oleh Gerakan Reformasi 1998.
Di Jakarta ribuan mahasiswa menduduki kantor DPR. 20 ribu polisi dan tentara dikerahkan. Dalam waktu dua hari kota-kota lain juga menempuh jalan yang sama. Ribuan mahasiswa mengorganisir dirinya keluar dari  kampus-kampus untuk menduduki kantor-kantor pemerintahan. Aparat yang tidak cukup sigap sepertinya terkejut melihat besarnya gerakan ini. Bentrokan pecah di jalanan. Asap gas air mata menyelimuti para demonstran. Respons negara adalah represi langsung. 500 orang dikabarkan ditangkap dan ada 90 lainnya yang dikabarkan hilang . Di Kendari 2 mahasiswa tewas. Di Makassar kendaraan lapis baja menabrakkan dirinya di antara kerumunan demonstran, yang menyebabkan 2 orang luka-luka.
Friday, September 27, 2019 0 comments

Rezim Jokowi, Krisis Reformasi, dan Tanda Kehancuran Politik



BELUM lama berselang, kita menyaksikan demonstrasi besar-besaran para mahasiswa di sejumlah wilayah di Indonesia. Secara historis, demonstrasi ini boleh dipandang sebagai demonstrasi terbesar para mahasiswa di seluruh Indonesia pasca-reformasi.
Secara garis besar ada sejumlah tuntutan mahasiswa terhadap DPR dan Pemerintah yang disampaikan dalam aksi itu. Pertama, mahasiswa menuntut Presiden Joko Widodo membatalkan Revisi Undang-Undang Komisi Pembaratasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kedua, mahasiswa memprotes Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan karena dinilai tak sesuai dengan amanat reformasi. Untuk aksi di DPR, ada empat poin tuntutan mahasiswa:  Pertama, merestorasi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, merestorasi demokrasi, hak rakyat untuk berpendapat, penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, dan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan. Ketiga, merestorasi perlindungan sumber daya alam, pelaksanaan reforma agraria dan tenaga kerja dari ekonomi yang eksploitatif. Keempat, merestorasi kesatuan bangsa dan negara dengan penghapusan diskriminasi antaretnis, pemerataan ekonomi, dan perlindungan bagi perempuan (Ambranie Nadia Kemala Movanita, Kompas.com, 24/09/2019).
Tuesday, September 24, 2019 0 comments

Rintangan dan yang Harus Dilakukan untuk Reformasi Jilid 2



Lawan Oligarki, Selamatkan Demokrasi!
Oligarki di Senayan, Oligarki di Istana!
Oligarki di Kota, Oligarki di Desa!
Oligarki Berwajah Nasionalis, Oligarki Berwajah Islamis!
Lawan Manipulasi Identitas yang Mempertentangkan Rakyat!
BEBERAPA bulan lalu saat pemilihan umum, sang calon petahana terpilih kembali sebagai presiden karena kepercayaan publik bahwa ia adalah orang baik yang bisa membawa perubahan. Padahal selama periode pertama pemerintahannya, konflik agraria terus meningkat, rakyat terus digusur dan ditindas, alat-alat negara digunakan untuk membungkam kritik dan oposisi. Kini pemerintah kembali membalik kepercayaan buta pendukungnya, mengkhianati agenda reformasi, bahkan sebelum dilantik.
Rakyat Papua menghadapi operasi militer yang serius dari pemerintah setelah mereka melawan rasisme dan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat militer dan ormas-ormas preman di Surabaya. Hingga kini represi oleh aparat militer dan kepolisian dan pembatasan akses internet di Papua serta pembungkaman aktivis-aktivis pembela rakyat Papua terus dilakukan. Polri mengkriminalkan aktivis pembela rakyat Papua dengan tuduhan sebagai penyebar hoaks, padahal yang nyata telah menyebarkan disinformasi mengenai situasi di Papua adalah pemerintah, baik melalui kementerian informasi dan teknologi (Kemenkominfo) maupun militer.
Saturday, September 21, 2019 0 comments

Revisi UU KPK, Memperkuat atau Melemahkan KPK?


Mari kita mulai dari pertanyaan sederhana: kenapa Negara ini memerlukan sebuah lembaga anti-korupsi yang independen dan profesional?
Saya berikan dua jawaban singkat. Pertama, lembaga penegak hukum yang sudah ada, yaitu kepolisian dan kejaksaan, tidak efektif dalam memerangi korupsi. Keduanya gampang masuk angin, kadang tebang pilih, dan kerap menciut di hadapan terduga korupsi yang punya relasi kuasa.
Kedua, salah satu semangat dari Reformasi 1998 adalah membebaskan bangsa dan negara ini dari perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Kita buang jauh-jauh Orde Baru karena KKN-nya. Dan kita menginginkan Indoenesia pasca Orba yang merdeka dari KKN.Karena itu, pada tahun 2002, melalui Undang-Undang nomor 30 tahun 2002, bangsa ini punya lembaga anti-rasuah baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nah, agar tidak gampang masuk angin, lembaga baru ini bersifat independen dan terbebas dari kekuasaan mana pun.
Tuesday, September 17, 2019 0 comments

Jalan keluar bagi papua: referendum, bukan dialog atau maaf-maafan





Teror, kekerasan, dan perlakuan rasis sekali lagi menimpa kaum muda Papua yang bermukim di luar Papua, khususnya kali ini di Surabaya, Malang, Semarang dan Ternate. Berita bagaimana anak-anak muda ini diperlakukan bak binatang memantik aksi massa di seluruh penjuru Papua, massa yang lama juga telah merasakan hal yang sama, yakni dimaki dan diperlakukan seperti “monyet”. Di Manokwari demo ini berujung dengan pembakaran kantor DPRD.
Peristiwa ini menaruh rasisme terhadap Papua ke dalam sorotan nasional, terutama ketika ini terjadi pada momen perayaan kemerdekaan Indonesia. Gembar-gembor nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia tiba-tiba terusik oleh realitas perlakuan rasis yang dialami oleh rakyat Papua. Potret Kebhinekaan Tunggal Ika tidak lagi seindah yang dibayangkan oleh yang berkuasa.
nilah mengapa rejim dengan bersusah payah mencoba mengecilkan apa yang terjadi, bahwa semua ini hanyalah riak. Kapolri Tito Karnavia misalnya mengatakan bahwa “aksi kerusuhan di Manokrawi berawal dari peristiwa kecil [!] di Malang dan Surabaya.” Tetapi “peristiwa kecil” ini -- pengepungan, penyerbuan, penangkapan sewenang-wenang yang disertai makian-makian “monyet” -- adalah peristiwa-peristiwa kecil yang setiap harinya dialami oleh rakyat Papua selama lebih dari 50 tahun. Kerusuhan yang menyusul demo di Manokrawi oleh karenanya bukan disebabkan oleh “foto hoaks” atau “kepentingan tertentu” seperti yang dinyatakan oleh Kapolri. Persekusi yang dialami oleh rakyat Papua bukanlah hoaks. Kepentingan yang ada bukan kepentingan “tertentu” tetapi kepentingan umum rakyat Papua yang menuntut hak-hak dan kebebasannya.
Friday, September 13, 2019 0 comments

Kaum Muda Hong Kong Melawan UU Ekstradisi


Sambil menggunakan masker gas air mata dan mengacungkan tinju ke atas kaum muda memenuhi jalanan kota di Hong Kong. Bentrokan tidak bisa dihindari. Polisi kebingungan mengatasi kerumunan orang yang datang dari segala arah. Setelah kucing-kucingan dengan polisi, mereka berkumpul di satu bagian kota hanya untuk bubar dan berkumpul di tempat lain. Mereka mencapai beberapa target titik aksi secara bersamaan. Demonstran semakin pintar mengecoh aparat. Aksi semakin tampak  terorganisasi. Mereka mendorong pagar penghalang dan melemparkan batu bata, botol dan tongkat pada polisi. Ketika polisi mengarahkan gas air mata ke arah mereka, mereka mengejar tabung yang mengeluarkan asap dan menyiramnya dengan air. Inilah gambaran kondisi Hong Kong.
Selama 10 minggu berturut-turut belum ada tanda-tanda gerakan ini akan berakhir. Para demonstran mengubah kota-kota di Hong Kong menjadi medan pertempuran. Ini adalah demonstrasi terbesar sepanjang 15 tahun terakhir. Demonstrasi semakin meluas dan sulit dipadamkan. Kondisi ini melemparkan Hong Kong pada krisis politik. Hampir dua juta dari tujuh juta orang berpartisipasi dalam demonstrasi ini. Mereka menyerukan pemerintah untuk menarik undang-undang yang diusulkan yang memungkinkan ekstradisi ke daratan Tiongkok.
Wednesday, September 4, 2019 0 comments

Mempersiapkan Rovolusi Melalui Pemogokan Umum


Ketika saya terlibat dalam berbagai demonstrasi buruh tahun 2012 yang menurun dua tahun setelahnya, saya mendapatkan pengalaman bagaimana pola pasang-surutnya sebuah gerakan. Gerakan buruh itu memang gagal mencapai tahap selanjutnya karena tekanan penguasa dan pimpinan-pimpinan serikat buruh yang lebih memilih berkompromi atau menerima konsesi-konsesi. Gerakan massa besar kemudian beralih dinaungi oleh kelompok Islam 212 dengan daya mobilisasi maksimal 700 ribu orang ke Jakarta. Jauh mengungguli mobilisasi buruh ke Jakarta yang hanya 150 ribu orang pada May Day 2012.
Dari segi kualitas, gerakan 212 bukanlah gerakan demokrasi, justru sebaliknya, adalah gerakan reaksioner yang membahayakan demokrasi itu sendiri. Sebabnya adalah gagasan-gagasan konservatisme yang mengatasnamakan agama dan posisi politiknya yang mengakomodir kembalinya Orde Baru. Meskipun gerakan ini membahayakan demokrasi, tetapi tetap saja suatu materi pasti memiliki sisi positif, sesedikit apapun itu. Gerakan ini telah memberikan pengalaman bagi kelas bawah untuk memobilisasi diri dalam aksi-aksi massa. Sama seperti ketika gerakan buruh tahun 2012 memberikan pengalaman pemogokan bagi jutaan buruh. Selama ini, harapan rakyat untuk perubahan tidak mendapatkan salurannya. Tidak juga di gerakan buruh yang terfragmentasi sedemikian rupa dan oportunisme para pimpinan serikat besar akibat dukung-mendukung elite politik.
Thursday, August 29, 2019 0 comments

150 Tahun Setelah Internasionale Pertama Didirikan: Kelas Pekerja Membutuhkan Sebuah Internasionale yang Revolusioner


Pada 28 September1864, delegasi-delegasi dari berbagai negeri berkumpul di Balai St. Martin di London. Inilah upaya yang paling serius untuk mempersatukan lapisan-lapisan kelas pekerja yang paling maju dalam suatu skala internasional. Pertemuan itu dilakukan sebagai suatu konsekuensi dari solidaritas internasional dalam menanggapi perlawanan Polandia pada 1863.
Pertemuan itu disepakati dan diputuskan untuk mendirikan Asosiasi Buruh Internasional (International Workingmen’s Association, IWA), yang kemudian dikenal sebagai Internasionale Pertama. Pusatnya di London, yang diarahkan oleh sebuah komite yang terdiri dari 21 orang, yang diinstruksikan untuk merancang sebuah program dan anggaran dasar. Tugas ini dipercayakan kepada Karl Marx, yang sejak waktu itu dan seterusnya memainkan peran kepemimpinan yang menentukan di dalam Internasionale.
Meninjau ke belakang, kita bisa mengatakan bahwa tugas historis Internasionale I adalah menegakkan prinsip-prinsip utama, program, strategi, dan taktik dari Marxisme revolusioner dalam sebuah skala dunia. Namun, Internasionale yang baru terbentuk itu tidak lahir dengan bentuk dan persenjataan yang lengkap, tidak seperti Athena yang lahir kepala Zeus. Saat kelahirannya, Internasionale I bukan sebuah Internasionale Marxis, melainkan sebuah organisasi yang sangat heterogen yang terdiri dari tendensi-tendensi yang berbeda.
Thursday, August 22, 2019 0 comments

Benarkah Membayangkan Dunia Berakhir Lebih Mudah daripada Membayangkan Kapitalisme Berakhir?


INGATKAH Anda dengan sepatah kutipan yang membuat menjadi kiri terasa lebih intelektual, lebih visioner, lebih maju seabad dibanding orang-orang di semua penjuru lain jalan? Bunyinya: “Lebih mudah membayangkan dunia berakhir ketimbang membayangkan akhir dari dunia?”
Saya punya ingatan yang cukup baik tentangnya.
Pencetusnya, mungkin Anda masih ingat, ialah Frederic Jameson. Pemungutnya yang membuatnya terkenal, Slavoj Zizek. Dan saya masih ingat, dalam seminar-seminar, ia lebih menggaet perhatian ketimbang kudapan gratis di luar ruangan. Kawan kiri, kawan kiri agak ke tengah, maupun kawan kiri di pelosok terujung menyampaikannya lagi dan lagi. Kawan yang terobsesi menjiplak Zizek mengulang-ulangnya dilengkapi gaya tangan memetik mangga si filsuf.
Saya pun masih ingat, ungkapan ini tak hanya puitis melainkan juga kuda troya yang efektif untuk gagasan Zizek. Hollywood tak henti-henti memproduksi film yang menarasikan bagaimana dunia akan berakhir. Skenario tersebut radikal, tentu saja. Pertanyaan kuncinya, mengapa kita tak bisa membayangkan perubahan yang tak memerlukan kepunahan massal—akhir dari kapitalisme? Benarkah, artinya, kapitalisme bukan saja sebuah tatanan ekonomi melainkan juga penandas batas terujung dari kenyataan kita?
Thursday, August 15, 2019 0 comments

Peran Kaum Muda dalam Revolusi Agustus


Sejarah revolusi di berbagai negeri hampir selalu menggambarkan peran kaum muda yang militan dan progresif. Kaum muda adalah lapisan paling sensitif dalam masyarakat dan umumnya memainkan peran signifikan dalam perubahan sosial. Tidak terkecuali dalam sejarah revolusi Indonesia 1945. Kaum muda Indonesia kala itu adalah salah satu faktor menentukan dalam proses kemerdekaan. Mereka mempunyai tempat penting dalam sejarah bangsa ini. Tanggal 15 Agustus 1945 ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, ada kesempatan besar yang dilihat oleh kaum muda agar Hindia Belanda – sebutan Indonesia sebelum merdeka –segera merdeka dari Jepang.
Soekarno-Hatta yang saat itu dilihat massa luas sebagai pemimpin politik tidak segera mengambil peluang kekalahan Jepang. Mereka masih mengharapkan kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Jepang. Mereka takut memproklamirkan kemerdekaan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu kepada penjajah. Tapi kaum muda yang militan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan mendorong Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka menculik golongan tua dan mendorong Soekarno-Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan. Setelah melalui banyak negosiasi dan keraguan, akhirnya pada pagi hari tanggal 17 Agustus, Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan ini menandai dimulainya babak baru dalam sejarah Indonesia.
Thursday, August 8, 2019 0 comments

Saya Punya Cinta, Negara Selalu Mengancurkanya


INSAN-INSAN yang belum menikah—saya, ehem, salah satunya—ialah subjek rutin risakan publik. Dan saya sudah bisa membayangkan bentuk risakan baru yang muncul selepas disahkannya KUHP baru yang moralis, brutal, dan disusun dengan penuh kemalasan itu.
“Bung,” sambar netizen Bambang, “Bung ini kalau tidak menikah tidak bisa menikmati hubungan intim lho! Nanti dipenjara kalau sembarangan berhubungan intim!”
Netizen Bambang, tentu saja, fiktif. Namun, seandainya benar-benar ada yang merisak saya demikian, saya sudah tahu apa respons saya. Saya akan kontan ngegas. “Siapa yang butuh hubungan intim? Negara sudah mengancuk saya habis-habisan!”
Alasan saya yang baik hati dan penyabar ini ngegas? Para politisi oportunis sudah meremukkan hubungan-hubungan paling berarti dalam hidup saya. Kini, mereka mau mengkriminalisasinya.
Thursday, August 1, 2019 0 comments

Kaum Pemuda dan Marxisme

Kapitalisme yang dalam tahapan tertingginya yakni Imperialisme  telah menghancurkan seluruh pengharapan tidak hanya bagi rakyat pekerja secara umum, namun juga lapisan-lapisan rakyat lain termasuk juga kaum muda. Pengangguran, kemiskinan, kelaparan adalah hasil dari tak terelakkan dari sistem ini. Kita dapat menjumpai di sekeliling kita, bahwa kemajuan teknologi, pembangunan infrastruktur-infrastruktur yang megah dan mewah, serta kemajuan di bidang-bidang yang lain – yang tidak pernah nampak di dalam masyarakat-masyarakat sebelumnya – bersanding bersama kemiskinan dari mayoritas luas rakyat pekerja.
Mudah saja untuk mengidentifikasikan sistem ini. Cukup dengan mempertanyakan, bagaimana bisa teknologi yang begitu maju sekarang; yang mampu menciptakan barang-barang kebutuhan dalam waktu sekejab, menciptakan berjubel-jubel barang kebutuhan masyarakat yang begitu bertumpah ruah; mampu membuat miskin kelas mayoritas yang memproduksi barang tersebut? Jawabanya adalah satu: yakni kelas yang memproduksi barang tersebut tidak memiliki hak atas alat produksi yang dalam sistem kapitalisme dimiliki oleh segelintir kelas minoritas, yakni kelas borjuis.
Thursday, July 25, 2019 0 comments

Semua Akan Dwifungsi pada Waktunya



SEPERTI banyak antropolog lainnya, saya menjadi manusia yang berbeda di lapangan. Saya lebih tabah, meski tak setabah hujan bulan Juni. Saya lebih tekun berpikiran positif. Saya lebih perhatian. Saya, pokoknya, mempunyai kepribadian seorang lelaki dan milenial idaman saat berada di sana.
Suatu malam, peristiwa ini terjadi kepada saya.
“Mas, Mas orang mana?” tanya seorang lelaki.
Lelaki tersebut awalnya menghampiri saya yang tengah duduk dan menonton pesta. Usianya barangkali di kisaran 20-an akhir dan 30-an awal. Tubuhnya tinggi. Saya tak pernah melihatnya di dusun sebelumnya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, ia sekonyong-konyong menyandarkan tubuhnya yang bongsor ke pundak saya.
Malam itu, dusun menggelar pesta perkawinan. Sambutan, makan-makan, kesempatan foto-foto—segala basa-basi pesta—sudah lewat. Pesta kini tengah bergulir di klimaksnya—joget. Musik akan membahana sampai kira-kira jam empat pagi. Warga menggoyangkan badannya di lantai joget berpasang-pasangan. Orang-orang yang tak ikut bergoyang akan berkerumun dengan teman-temannya di tepi atau menenggak sopi bersama mereka di pojokan tak terlihat.
Wednesday, July 17, 2019 0 comments

Kita Menjadi Hamlet di Negeri Sendiri



“KITA bagaikan Hamlet dalam lakon Shakespeare di negeri sendiri,” kata Jim Garrison, seorang jaksa di negara bagian Louisiana, AS, yang pada akhir 1960-an sempat tenar setelah memperkarakan pengusaha lokal yang dituding berkomplot dalam pembunuhan John F. Kennedy.
“Anak-anak yatim yang pembunuh orang tuanya tetap bertahta”.
Kata-kata ini barangkali tak pernah meluncur dari mulut Jim Garrison yang sungguhan, alih-alih dari monolog menggetarkan selama belasan menit dari karakter Jim Garrison yang diperankan Kevin Costner dalam film kontroversial garapan Oliver Stone JFK (1991).
Peristiwa pembunuhan John F. Kennedy di Dallas pada penghujung 1963, jadi salah satu peristiwa besar sepanjang abad lalu. Bersama itu, muncul cerita-cerita ngeri-ngeri sedap yang menjurus pada kemungkinan “persekongkolan tak kasat mata”. Versi resmi dari Komisi Warren menyahihkan Lee Harvey Oswald, yang keburu mati ditembak dua harmal pasca-pembunuhan Jack Kennedy, sebagai penembak tunggal.
Tetapi, sejak purnama pertama setelah kejadian hingga hari ini, menurut jajak pendapat Gallup Poll, lebih dari separoh warga Amerika Serikat mengimani adanya “keterlibatan pihak lain”.
 
;