Friday, December 28, 2018 0 comments

Padamu, Aku Ingin Menemukan Segalanya.


Kekasih, aku pernah menyimpan sepotong kenangan di balik bingkai matamu yang teduh dan basah - yang lantas gugur satu-satu bersama waktu. Sampai akhirnya aku berhenti melangkah. Sampai akhirnya, aku hanya menitipkan sekumpulan kata di jendela kamarmu. Kata yang kunamakan Aksara Hujan.
Menderu, parau kata-kata itu di sekujur tubuhku, setelah waktu demi waktu yang panjang; kukira kita telah lama hilang, sebab di sepasang lengan seseorang kau akan menempuh perjalanan panjang. Namun di sana, cinta hanya mementaskan tawa yang fana. Meremukkan segala padaku yang tersisa. Dan kini aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan hati untuk memercayai kembali.
Di sanalah aku menjaga asa - cinta yang kau anggap fana dan remukkan perasaan dari sebuah kata pergi. Setiap sesak dan lelah. Kini, melalui kata-kata itu, aku menghidupkan jasad kenangan yang telah mati; yang telah baur di udara menjadi abu. Aku menghidupkan segala yang telah kubunuh ketika di sebuah persimpangan jalan, lelah itu bermuara pada kalah. Jalan di mana, kini aku melihatmu kembali berdiri di salah satu sisinya. Haruskah aku kembali memungut rindu yang telah gugur itu?
Monday, December 24, 2018 0 comments

Prancis: Gerakan Rompi Kuning dan Rezim Macron yang Rapuh


Mobilisasi gerakan rompi kuning menandai langkah penting dalam perkembangan perjuangan kelas di Prancis. Selama beberapa minggu terakhir ratusan ribu orang berpartisipasi dalam gerakan ini. Dituntun oleh kemarahan atas harga BBM yang baru-baru ini naik, dari hari ke hari mereka turun ke jalan dan berbenturan dengan polisi. 
Tekad mereka merupakan refleksi dari penderitaan dan kemarahan mereka. Kebijakan Presiden Emmanuel Macron menaikkan harga BBM adalah serangan bagi kelas pekerja, sementara yang kaya mengambil manfaat dari segala macam keringanan pajak, subsidi dan potongan harga lainnya. Gerakan ini memahami bahwa argumen “peralihan ekologi” yang digunakan rejim Macron hanyalah dalih lain untuk menjarah massa rakyat demi keuntungan bagi segelintir parasit kaya.
Friday, December 21, 2018 0 comments

Mengikhlaskanmu Pergi


Pertemuan menjadi alasan aku ingin mengubah setiap jejak di masa silam—setelah hati yang remuk oleh kepergian seseorang yang pernah kucintai begitu lama. Dan di suatu perputaran waktu yang baru, waktu mempertemukanku denganmu. Penantian ini cukup lama untukku, menyimpan segenap rasa dan kujaga cinta agar kelak aku mampu dipertemukan dengan seseorang yang tepat. Seseorang yang kelak akan menjadi bagian terbesar dalam hidupku.
Dulu, aku yakin bahwa cinta ditakdirkan bersemi tanpa nelangsa—akhir yang tiba oleh perbedaan yang semakin bentang. Dan, di jalan yang baru ini, aku mencoba melupakan segalanya dan menyesap secangkir teh—berharap seseorang akan duduk di depanku, bercengkerama hangat. Pada setiap malam yang bergeming, pada takdir yang terukir dan pada harapan yang melambung tinggi. Kulatunkan setiap doadoa yang kuperuntukkan padanya. Dia yang hadir mendatangi tempatku yang sulit untuk diketahui—hati.
Itulah kamu—seseorang yang lantas duduk di hadapanku dan bicara banyak tentang masa depan. Seseorang yang hadirnya tetiba, namun hangatnya lama terasa. Seseorang yang namanya tersemat di antara doaku di sepertiga malam. Di dalam perpisahan aku mati, pertemuan denganmu—menghidupkanku kembali. Biarkan perasaan ini tumbuh layaknya bunga bermekaran atas izin-Nya, yang kusimpan tanpa seorang pun tahu dalam setiap istikharah. Istikharah yang kulalui setelah kaudatang dan meminta ‘tuk menjadi imam dalam hidupku.
Thursday, December 20, 2018 0 comments

Babak Baru Revolusi Prancis


Situasi sosial dan politik Prancis bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Selama satu bulan terakhir Perancis dihadapkan dengan mobilisasi sosial besar-besaran. Demonstrasi dan bentrokan terjadi di mana-mana. Blokade jalan berlangsung selama berminggu-minggu di jalanan kota Paris. Para demonstran tanpa lelah terus berhadapan dengan represi polisi.
Dalam satu bulan gerakan rompi kuning telah menempatkan negara ini di ambang krisis revolusioner. Situasi ini semakin menarik lebih banyak elemen gerakan lain, seperti serikat-serikat buruh, mahasiswa, pelajar-pelajar SMA dan juga pekerja kerah putih. Elemen-elemen gerakan yang awalnya hanya menonton kini terlibat dan mendukung gerakan ini. Gerakan ini tumbuh dalam skala dan intensitasnya.
Universitas Paris Nanterre adalah salah satu kampus yang secara radikal memobilisasi mahasiswa dalam merespon demo rompi kuning. Di kampus ini mereka mengadakan rapat akbar yang menghasilkan resolusi yang radikal. Mereka menyatakan bahwa universitasnya akan ikut mogok. Rapat akbar yang digelar di Universitas Nanterre pada tanggal 10 Desember ini dihadiri sekitar 2000 orang, baik mahasiswa maupun pekerja kampus.
Friday, December 14, 2018 0 comments

AKU BISA MENUNGGU


Aku terlalu terbelenggu oleh kata-kata yang untai menuju masa lalu. Kata-kata yang lahir dan menemui kematiannya sendiri. Karena di masa lalu hanya ada kenangan-kenangan yang kelak tersapu dan terlupakan. Kenangan yang kunamakan “cinta” dan “kasih”.
Kenangan itu membuatku lupa, bahwa perjalananku bukanlah untuk alasan yang dipaksakan indah dan untai. Ada masa depan yang dicitakan. 
Dan itu kamu. 
Menemukanmu dalam keindahan kata-kata bukanlah tujuanku. Perjalanan ini mengubahku terlalu jauh dan aku harus berusaha keras untuk kembali pada kehidupan lama itu.
Aku sungguh lupa bahwa yang kubutuhkan tak lebih dari kesederhanaan. Kumpulan kata-kata yang membentuk kesederhanaan untuk apa pun: perihal bahagia, sedih, dan juga menemukanmu. Karena untukmu, aku ingin berdiri dalam jarak di mana kelak kau akan menemukanku juga dengan sekotak rindu yang sudah kusiapkan berlapiskan beludru.
Untuk membersamaimu, aku bisa menunggu.

Friday, December 7, 2018 0 comments

Sampai Kapan Aku Harus Menunggu?


Sampai kapan aku harus menunggu?
Semua kata-kata di kepalaku sudah menjadi debu di dinding yang membatasi perasaan kita. Kamu masih tidak memberikanku jawaban apa-apa. Perjalananku berhenti di kamu. Aku tidak tahu apakah ini sementara atau selamanya. Seharusnya yang kedua. Tapi kamu menjadikannya pilihan yang pertama. Kamu diam tanpa suara.
Sampai kapan aku harus menepis detik dan tanggal?
Dari jarak yang membuatmu tak menemukan aku, satu persatu rindu kuselipkan di saku jaketmu setiap hari. Berharap kamu mau merogohkan tangan ke dalamnya. Tapi nyatanya kamu tak menyentuh saku jaket itu sama sekali. Entah kamu mengetahuinya dan memilih untuk takpeduli atau kamu memang takpeduli dengan apa pun.
Friday, November 30, 2018 0 comments

We Were Happy


Berhenti. Jangan lari lagi. Sekali ini saja duduklah bersamaku di taman pinus ini dan kita akan bicara. Tentang kamu yang menjadi alasan untukku percaya bahwa kegelapan adalah ketiadaan sebuah cahaya. Kita pernah tertawa bersama untuk sesuatu yang bodoh dan sederhana. Begitu keras dan bahagia. Ketika itu kita tidak peduli dengan kesedihan. Yang kita tahu hanya tawa dan senyuman. Kita hanya tahu bahwa matahari selalu menyingkap tirai awan dengan cahayanya yang hangat.
Tapi, untuk sebuah alasan, detik demi detik mengubah bahagia itu menjadi air mata yang alir. Kala yang kukenal hanya hujan yang selalu deras. Kala Tuhan memanggilmu ke peraduan-Nya dan aku hanya bisa merutuki semua ini dengan api yang menyala di dalam dada. Api yang hanya akan padam oleh air mata. Aku dan hujan saling bertaruh, siapa di antara kami yang paling keras berteriak. Aku pun bertaruh pada diriku sendiri, siapa yang paling keliru bahwa hujan akan turun selamanya.
Tentu saja aku yang menang. Di hari pemakamanmu, aku pulang paling terakhir dan menumpahruahkan segala air mata yang kupunya. Hebatnya, hujan di mataku lebih deras dari hujan yang turun di langit. Untuk itu, aku berhak untuk menikmati rintik yang membasahi segara kehilanganku lebih lama lagi. Satu hal yang tak kusadari: aku kalah pertaruhan dengan diriku sendiri. Karena pada akhirnya, matahari memutuskan pergi dan takpernah kembali. Karena itu tolong, berhentilah. Jangan lari lagi.
Biarkan aku menyelesaikan perjalananku dan setelah itu kita akan berlari lagi.
Friday, November 23, 2018 0 comments

Bukan Kamu Jawaban Tuhan


Hujan semakin deras. Derap langkahku terhenti oleh badai yang berkecamuk di dalam dada. Tubuhku kuyup oleh kenangan yang menghunjam sepagian ini. Mengapa aku merasa sepatah ini karena kamu yang taklagi kumiliki? Dan jawaban itu masih sebuah misteri yang takterpecahkan.
Aku selalu percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk kita. Meski detik sudah bergerak menjauh, spasi menjadi pemisah antara dua perasaan yang (dulu) pernah saling memiliki namun jeda pun hadir untuk memporaporandakannya. Aku selalu percaya bahwa tidak ada yang menahu perihal takdir.
Dan itu pula yang menghantam dadaku saat angin berbisik perihal pilihanmu dan itu bukan aku. Menjadi pihak yang memendam tidak pernah bergerak dengan baik untukku. Pun dengan lidahku yang begitu kelu kala menyapa namamu, dan tidak lebih dari sekadar sujud di sepertiga malamku.
Ya, abor. Dadaku remuk. Harapanku patah berkeping-keping. Jatuh berserakan di atas kenangan yang bahkan masih hangat. Sampai suatu titik, ternyata aku harus benar-benar menyerah. Padahal aku begitu yakin di perjalanan pencarian baru ini, mungkin kamulah jawabannya.
Tuhan telah menjawab, dan bukan kamu ternyata perempuan yang dijanjikanNya.
Friday, November 16, 2018 0 comments

Kali Kedua


Aku kehabisan kata-kata. Takdir berkonspirasi dengan Waktu untuk mencipta pertemuan kembali hadir di antara kita. Kenangan tentangmu di masa silam seketika menyeruak cepat, menghentak dadaku; senyuman terakhirmu yang berdiam di pikiranku, mendadak menyala terang di mataku. Semestaku luruh dalam sekejap.
Aku sedang tidak bermimpi, kan?
Kita menyulam segala yang pernah terlepas oleh detik dan tanggal. Saat dari kejauhan langkah kakimu tertangkap oleh kedua mataku saat suaramu mulai menyelusup ke dalam ruang-ruang pikiranku, aku sadar betul bahwa aku telah kehilangan kata-kata.
Rindu itu begitu tajam. Menikam harapan menjadi serpihan, meninggalkan luka mendalam di relung perasaan, dan kemudian Ia menyatukannya lagi menjadi utuh. Ini benar kamu, kan?
Friday, November 9, 2018 0 comments

KEMBALI


Aku baru menyadari sekarang kamu telah menapaki jalan yang berbeda daripada sebelumnya. Mungkin aku harus menarik semua rasa menyerahku di masa silam dan mulai mengunjungi jalanmu lagi. Kedatanganmu yang tiba-tiba, bersamaan dengan remukan kertas berisi harapa yang entah mengapa kini terbuka lagi di atas mejaku.
Sungguh, lucu bukan?
Untuk pertama kalinya aku kembali membasahi segara rasaku yang (pernah) kering oleh seorang yang pernah kuikhlaskan. Seseorang yang pernah kutunggui untuk sekian lama sebelumnya akhirnya aku benar-benar membunuh langkah menuju orang itu.
Kamu.
Berita tentangmu sungguh membuat diriku limbung; di tengah langkahku yang kini mulai menuju pada seseorang yang lain; seseorang yang serupa denganmu. Dan kini, kenanganmu begitu saja datang mengetuk ruang pikiranku dan ingin singgah untuk waktu yang takterdefinisi.
Haruskah aku membukanya? Atau menepisnya?
Hal itu menjadi pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya.
Friday, November 2, 2018 0 comments

PAGI INI


Pagi ini, kamu melabuhkan lagi senyummu bersama langit merah yang perlahan menampar wajahku dengan dingin dan lembut. Aku tahu, jarak di antara kita begitu dekat tapi juga jauh; jarak di mana kamu takkan menemukan aku. Serupa jejalanan lengang di tengah malam yang dibasahi oleh hujan deras, seperti itulah kamu di dalam dadaku. 
Kamu membasahinya begitu deras dengan kehangatan, tapi tetap saja perasaanku kosong. Pagi ini, aku yang sengaja melupakan tidur demi menikmati tiap kata-kata yang ingin kukirimkan padamu melalui surat kertas yang kulipat menjadi pesawat kecil. Pesawat itu hendak kuterbangkan dan mendarat di atas sampan tempatmu mendayung di atas lautan.
Melihat langit pagi ini, aku teringat warna pipimu saat memalu kala dulu pernah tidak sengaja kukatakan bahwa malaikat itu bukan makhluk tak kasatmata yang takbisa dilihat siapa pun. Kamu berlalu dan meninggalkan pertanyaan di benakku. Apakah saat itu kamu tersenyum dengan ketidasengajaanku atau kamu justru membencinya?
Karena mulai detik itu, aku membentang jarak padamu seperti yang kukatakan tadi. Aku mulai belajar bagaimana caranya untuk menunggu, sekalipun itu selamanya. Karena mencintaimu, aku tidak mengenal detik dan tanggal. Perasaan itu gugur dan mewujud kata-kata yang kutuliskan padamu hari ini. Perihal batas yang menjadi dinding di antara kita.
Bagiku, pagi ialah permulaan; seperti kamu yang takpernah tahu kapan permulaan dari kata ‘kita’ itu datang, karena aku memang takjua mencipta langkah menujumu. Detik ini, aku masih ingin menikmati senyummu dari kejauhan. Berdoa semoga ingin tak berubah menjadi angan.
Dan kamu; embun pagi.
Lalu aku hanya perlu bertanya, apa kabar hari ini? Semoga pagimu begitu menyegarkan. Jikalau nanti pesawatku sampai, semoga kamu mau membalasnya.
Thursday, October 25, 2018 0 comments

Aku Yang Gagal Mempertahankan Mu


Cinta membuat kita 
Mengerti, ada bahagia
Sebelum patah hati.

Aku tengah mengaduk sesak sembari mengiris senja di pelantaran logika. Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyummu yang dulu biasa kini tiada. Menggantung hebat penasaran yang terbias tenggelamnya kehadiran, kini adamy hanya bisa tergambar oleh mimpi dan lamunan. Rona jingga pun menyingkap langit, waktu memukulku seraya membisikkan kenyataan pahit,  bahwa . . . 

     Kau mencintainya.
     Kau bahagia dengannya.

Padamu kepergian, inikah sepenggal rasa dibebunyian sangkakala. Langit mementahkan gemuruh, ketiadaanmu membuatku semakin rapuh. Langkahpun melupakan pijakan, harapku tertatih di makan penyesalan. Merayap tanpa ampun mengunci segala embun. Pagi tak akan pernah cerah tanpa ucapan pemulai harimu, dan malam tak pernah anggun tanpa bisikan lembut dari bibir mungilmu.

Aku merindukanmu bagai hujan yang merindukan pelangi, iya menyebar indah menyelimuti bumi dengan aku satu-satunya cahaya yang berpendar menjadikannya warna. Sebelum akhirnya aku terhentak, secuil kangen yang terbalas pun tidak, itu karna. . .

    Kau mencintainya.
    Kau bahagia dengannya.

Thursday, October 18, 2018 0 comments

Ketidak Sengajaan


Dadaku begitu riuh. Di antara keramaian meja di food court sebuah pusat perbelanjaan, mataku tiba-tiba sampai di wajahmu. Gadis berkacamata dengan ponsel abu-abu di tangan. Caramu bertopang dagu dan memakai jilbab, sungguh menarik perhatianku yang tak menemukan fokusnya sedari tadi. Kamu duduk sendirian entah menunggui siapa. 
Tatapan matamu yang teduh, putih kulitmu, dengan sweter birumu mengingatkanku pada seseorang di kota hujan yang (pernah) ditunggui selama dua tahun. Kedatangnmu kala kota ini—bukan kota hujan—disergap oleh rinai-rinai yang berjatuhan dari atas langit membuatku sadar bahwa dalam tetiap perjalanan ada saja efek kejut yang bisa muncul kapan saja.
Thursday, October 11, 2018 0 comments

Sampai Suatu Titik


Sampai suatu titik, aku sadar jalan yang kulalui ternyata tak berujung. Kupikir, ketika dulu memutuskan untuk berhenti dan menemukan jalan baru, adalah cara untuk melepaskan semua beban di kepala dan dada. Di jalan itu aku menemukanmu.
“Kamu yang kucari selama ini” adalah panggilanku untukmu: orang-orang yang barangkali adalah penampung tulang rusukku yang hilang. Tepat satu setengah tahun lalu, aku memutuskan untuk memulai perjalanan pencarian pertama kali dan tak terasa sampailah aku di sini.
Di titik ini, aku beristirahat sejenak. Rerumputan hijau terhampar luas di sekelilingku. Angin menampar lembut wajahku. Udara segar mulai memeluk tubuhku. Rasa lelah terusir tanpa permisi. Pertanyaan mulai hadir di benakku:
            Benarkah jalan ini yang harus kulalui? Benarkah di suatu titik di depan sana, aku akan menemukanmu?
Thursday, October 4, 2018 0 comments

SEPUCUK PERPISAHAN


 
Abor, kutitipkan sepucuk kabar masa depan di jendela rumahmu—berita yang kutahu akan mencabik dadamu. Tapi, inilah waktu dan takdir. Kita hanya harus menjalaninya saja. Terhelak kutahan napasku dalamdalam, menyembunyikan perasaan pedih meradang lalu kusembunyikan bulir itu seraya mengucapkan selamat telah menemukan seseorang selain aku untuk menyempurnakan hidupmu.
Kamu takperlu berpura-pura bahagia; ada masa lalu yang pernah menyemat kata "kita". Segala yang rantas ketika keraguan yang ada hanya menunjukkan sebuah jalan—tanpamu di dalamnya. "Kita", kata yang tak alpa kusemogakan dalam munajat agar aku dan kamu bersatu, bersisian dalam kebaikan, namun hari ini harapan itu luluh lantak berbias perjuanganku untuk meyakinkan keraguanmu.
Friday, September 28, 2018 0 comments

Bila Sudah Seperti Ini, Aku Bisa Apa?


Aku sempat ingin berhenti menuliskan perjalanan pencarianku untuk menemukanmu. Kamu mungkin tidak pernah tahu betapa sulitnya berjalan, berlari, atau bahkan memacu langkah tanpa istilah hanya untuk mengejar sebuah kekosongan untukku. Kamu mungkin tidak pernah tahu bahwa mendengarmu baik-baik saja sudah cukup untuk membuatku bahagia.
Mungkin kamu tidak pernah tahu semua itu karena kita memang belum ditakdirkan bersama.
“Pengecut,” katamu.
Dan aku hanya bisa tersenyum getir dan diam. Acapkali aku memaki tanpa suara di keheningan malam. Di antara senyap dan dingin yang merengkuh tubuhku. Rindu ini semakin kejam. Menikamku dari belakang dengan ingatan-ingatan tentangmu yang berkelindan lebih sering dari sebelumnya.
Saturday, September 22, 2018 0 comments

Selamanya, Aku Ingin Singgah


Di dermaga sepi ini, aku menantimu tanpa detik dan tanggal. Bertahan di sana sampai kaudatang—meskipun hanya serupa kabut, hati hanya berharap, suaramu segera menyelusup di telingaku. Percayalah, selain penantianmu yang sepi itu, aku pun tengah melangkah mendekatimu, meski belum kutemukan arah yang tepat. Sebab kau berada jauh dari gapai, selalu dan selalu membuatku berandai; jika kubisikkan seutas rindu, akankah kau mengeja namaku?
Namamu hanya bagian dari semat doa—kala rindu kian tenggelam. Kau risau tentang jarak—mungkin kau lupa tentang kepantasan, dinding tak tampak di antara kita. Tunggu, maksudku aku. Yang selalu merasa tak pantas. Kau selalu saja begitu. Tanpa kau sadari, segala yang ada dalam pikiranmu itu melambatkan penantian; meremehkan kerinduan. Meski sesungguhnya tidak ada satu dinding pun yang mampu meleburkan tungguku. Sebab aku tahu, rindu adalah jalan terbaik untuk menemukanmu. Rindu menguatkanku, sebagaimana kau seharusnya dikuatkan rindu.
Satu hal yang harus kau ketahui, di sepasang matamu aku pernah menyematkan rindu. Yang kini tersapu dan memantulkan ketakutan. Iya, ketakutan perihal ketidak pantasan. Selalu bertanya, apakah aku lelaki yang tepat untukmu? Barangkali, kita sudah terlalu lama berjauhan dan tak berhasil menyemat pertemuan. Kau kerap menunggu, sementara aku kerap melangkah tanpa kau beri arah. Sehingga setiap pertanda selalu kaujadikan alasan untuk menggambar batas.
Padahal kita, sebaik-baiknya cinta, selalu ada tanpa perlu lagi kau merasa tak pantas. Bila kita ialah sepasang yang hilang arah, kita butuh dari sekadar peta untuk bersama. Aku tahu betul di mana aku harus berdiri—di sampingmu, aku butuh sekadar senyuman sebagai tanda. Dan bergulirnya detik, senyum itu takpernah berlabuh di mataku. Semuanya mengabut, lalu tiada.
Kau tahu, tentu, perasaan seorang perempuan yang terlalu malu; terlalu lama menyesap rindu. Sepi dan sendu, sekaligus riuh bergemuruh. Dan selengkung senyum itu, sesungguhnya telah lama kutautkan di punggungmu. Ketika kau terlalu mudah menyerah atas segalanya, aku masih percaya kau memiliki perasaan yang sama. Dan di luas degup dadamu itu, kupercayai segala arah. Andai saja kau mampu sekali lagi berbalik, menunjukanku cara menanti yang terbaik.
Aku mencipta imaji; kita sepasang yang asing, tak mengenal saling. Di sana, aku mengubur asa—melupakan semoga, karena aku tahu di jantung puisiku, kau telah mati. Bagiku, menunggumu seperti itu. Dan ternyata bila perasaanku tak bertepuk sebelah tangan, mungkin ini saatnya. Menyandarkan punggung masing-masing, menujuk muara yang sama—tentang kita.
Sungguh, percayalah sekarang, simpan degupku di tanganmu; jagalah kita, jagalah setiap asa yang kutaruh di antara langkah-langkah yang tengah kutempuh. Tetaplah di sana, di tempat pertama kau menghilangkan detik dan tanggal; di dermaga sepi dengan embus angin yang sengal. Tidak lama lagi, aku akan tiba untuk menyapa tatap matamu; mengelus telinga rindumu. Sebab dengan seluruh asa, cinta, renjana, dan doa-doa yang bergema, akan kutemukan arah paling tepat, untukku memelukmu tanpa terlambat.
Aku selalu percaya pada masa depan. Dan di sana kutemukan kaulambai padaku—pada tangan yang kelak kutitipkan degup ini. Aku selalu berdiri di peron kereta ini. Entah itu membutuhkan, hari, bulan, tahun, atau bahkan selamanya. Sampai kaudatang—taklagi hilang. Padamu, aku ingin membangun rumah. Selamanya aku ingin singgah, melupakan kata pulang. Terima kasih sudah membuatku yakin, bor. Aku mencintaimu dengan sederhana; menunggu tanpa jeda, bertahan tanpa perpisahan.
Friday, September 14, 2018 0 comments

Patah Tanpa Alasan


Aku masih di sini, kekasih. Patah tanpa alasan. Menunggu keraguan hilang dari kepalaku—sampai waktu terus menderas bagai hujan dan masih saja kau enggan memberi jawaban. Aku harus pergi. Aku tidak sedang meragu, kekasih. Aku hanya tak ingin suatu saat nanti salah satu dari kita patah tak termaafkan. Sedang aku memberi harga mahal tentang sebuah penantian. Meski begitu, langkah mu pergi bukan lah yang aku harapkan.
Kita pernah menjadi sepasang bahagia yang lahir di dada masing-masing. Detik yang kian gulir sementara takdir mulai menautkan rasa. Ketika itu aku sadar, padamu aku merajut masa depan. Meski diantara kita ada manusia yang menjadi tembok penghalang dari hubungan ini. Di tengah perjalanan penantian aku menyadari, ? Entah siapa pemicunya, aku atau kamu yang mencipta bahagia. Namun kian hari yang terasa malah saling yang ku rasa asing. Aku hanya takut, hubungan ini di antara kita suatu saat kukut.
Seharusnya jangan kaubiarkan ketakutan memelukmu. Ia hanya datang untuk melahirkan ragu, memberi kita jarak sebagai spasi pemisah. Keterasingan itu ada karena kita mulai hilang arah. Bila padamu, taklagi ada aku di hati, itu satu alasan kuat aku harus pergi. Jika langkah mu membawa mu pergi jauh, lantas aku tak ada lagi cara untuk merengkuh mu kembali. Jika kita berpikir hubungan ini harus dituntaskan, biarkan perasaan kita yang dipersatukan. Namun biarkan waktu yang memberi jawaban, agar tulus yang jadi alasan.
Friday, September 7, 2018 0 comments

Meskipun Kamu Tidak Tahu


            Di suatu stasiun, aku menemukanmu terduduk di salah satu bangku sendirian. Air matamu mengalir deras, meriakkan pilu yang alur dengan lembut di sana. Tanpa suara, aku tahu kamu sedang menangis. Padahal hujan sedang tidak turun sore ini. Tiada siapa pun di sini. Hanya aku dan kamu. Meski sepasang rel kereta api menjadi jarak di antara kita.
Kamu, dengan gerimis yang menggenangi wajahmu. Tanpa bicara, angin memberi tahu bahwa kamu baru saja melepas pergi kekasihmu. Melepas semua bahagia yang pernah kamu rajut bersamanya. Bahagia yang dulu juga kurasakan ketika melepaskanmu. Pada akhirnya, kamu juga merasakan apa yang kurasakan, kan?
Thursday, August 30, 2018 0 comments

LUKA TERINDAH


Pergi. Satu kata yang menyulam malam-malamku menjadi sebuah pilu yang menyelimuti dan kelu yang mengunciku dari ingatan tentangmu. Bertahun-tahun, aku jatuh pada ... orang yang sama. Aku tidak pernah tahu mengapa hati rela membatu dan mata rela membuka untuknya—selain kamu. Mungkin, kita adalah sepasang rindu yang takjua dipersatukan takdir. Entah kamu yang tak menyadarinya atau aku ... yang dengan bodohnya percaya bahwa suatu waktu nanti, kita akan dipertemukan kembali dalam situasi berbeda.
Orang yang sama itu adalah kamu. Beberapa waktu berlalu, aku tidak menghitung ini jatuh yang keberapa. Yang pasti, semua rasa tetap utuh seperti pertama kali aku tahu kamu ada. Tapi, mengapa kamu diam saja? Mengapa memilih menjadi sunyi yang kurindukan? Ah, rasanya bodoh sekali, mengatakan bahwa aku untukmu. Kamu tahu, diam adalah keahlian terbaikku. Dengan kediamanku, aku berani untuk bicara denganmu tanpa perlu takut sebuah penolakan. Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, terlebih dirimu. Karena, mungkin, yang salah adalah aku.
Saturday, August 25, 2018 0 comments

Terima Kasih, Telah Menjadi Seseorang Yang Kucintai Begitu Lama


Penantianku sudah berakhir. Aku telah kalah oleh segalanya. Memaki takdir dan merutuki semesta. Sesaat setelah berita kepergianmu sampai di daun jendela kamarku, kupikir sudah tidak ada lagi kemungkinan yang bisa Takdir sisakan untukku. Kamu sudah memilih seseorang untuk mendampingi hidupmu.
Dan itu bukan aku.
            Sesungguhnya aku tidak pernah percaya sampai akhirnya dari sebuah laman di dunia maya, aku menatap senyummu yang kamu labuhkan pada lelaki lain itu—seharusnya aku yang berdiri di sana menyematkan cincin di jemari manismu. Seperti wajahmu di hari itu, yang penuh cahaya. Sementara kelabu mulai menyelimuti tubuhku.
Tuesday, August 21, 2018 0 comments

DI SINI, AKU MEMBUNUH SEPI


Malam ini langit redup tanpa bulan dan bintang. Gerimis turun menghantarkan petrikor. Persis  malam  itu, suatu hari di bulan Maret. Pertama kita bertemu di kedai kopi milikmu. Kita saling tersipu, ingin menatap lebih lama tapi pandangan harus dijaga. Setelah mati rasa yang begitu lama. Bertemu kamu membuat degup dadaku kembali kehilangan ritmenya. Gerimis selalu jadi tanda, ada jiwa-jiwa yang teriris. Seperti kata, yang mampu mewakili segalanya. Bahagia dan kesedihan. Perpisahan dan pertemuan. Ketika beberapa baris yang basah oleh air mata, bermuara pada sebuah samudra—yang ternyata mengalir deras di matamu. Tepat, ketika kita mulai menyebut nama masing-masing, lalu mencoba untuk menguasai debar jantung yang mulai berirama beda.
Kehangatan kedai kopimu meresap dalam dada. Kemudian jemariku tanpa sadar mulai menjejak beberapa kata.  Aku dilanda cinta. Sepertinya semesta turut merestui rasa yang sedang merekah di antara kita. Lewat prosa kita sama-sama menyisipkan semoga. Ada keyakinan besar kita akan bersama, meski entah bagaimana cara-Nya. Sebab di sepasang matamu, aku menemukan segalanya, Puan. Setelah perpisahan di masa lalu jatuh sebagai hujan, kaudatang sebagai payung—menawariku keteduhan. Dan di pelukan waktu, kita tumbuh bersama dalam katakata. Sampai ternyata, jarak yang bentang telah terlipat rapi. Di sini, aku membunuh sepi. Di sana, kau bisa saja memberiku nyawa lagi.
Monday, August 20, 2018 0 comments

BERSABARLAH, TUHAN SEDANG MENGUJIMU


Pandangan pertamaku tentangnya, menjadi cinta yang tak berkesudahan, membangun kokoh gedung pengharapan, berpondasi percaya akan takdir Tuhan. Duhai sahabatku, bukankah itu pertanda bahwa ada satu-dua orang yang bisa memberimu bahagia—pada apa yang kaupercaya dari hati? Separuh hati telah kutinggalkan padanya, dan tersisa separuh lagi yang sedang kujaga, aku percaya, dia akan kembali dengan rasa yang sama—cinta pada pandangan pertama.
Satu hal yang harus kauketahui; perasaan yang kautanam akan berbuah di waktu yang tepat—pertanyaan yang lahir ialah perihal bagaimana cara kau memupuk dan waktu yang dibutuhkan untuk menjadikannya tumbuh subur sebagai pasangan di masa depan. Sewindu telah berlalu,  pesan suara yang terakhir kali kulayangkan—perihal kabar dan kepastian—menghamburkan pupuk dan waktu yang kubutuhkan, dia semakin menjauh, tapi tidak dengan rasa yang kupegang teguh; hingga saat ini. Apa yang terjadi? Apakah takdir sedang menguji dengan satu-dua sakit hati? Atau memang segalanya telah membuat hatimu patah tak tersembuhkan?
Tuesday, August 14, 2018 0 comments

Agustus Yang Berbeda


Kembali. Langkah itu yang menjadi pilihan kala harapan sudah lama mengepakkan sayapnya, menerabas dinding-dinding dingin awan yang menanti jatuh sebagai hujan, menembus ruang tanpa udara; harapan itu hidup sebagai ketiadaan sebagaimana udara di luar angkasa.
Setiap orang pernah terjatuh begitu dalam hingga ia takmampu melihat apa pun selain akhir. Ketika cahaya yang hidup di bola mata semakin malam, semakin pekat dan rembulan enggan kembali singgah di sana. Dan ketika masa itu datang, ia sadar bahwa kehidupan takubahnya sebagai permainan waktu: membakar kenangan jadi abu, menyapu setiap rasa bahagia dengan ragu, dan menderaskan hujan.
Saturday, August 11, 2018 0 comments

Seharusnya Aku Bahagia Malam Itu


Baik-baik saja.
Konsep kosong. Segalanya tidak akan berjalan semestinya selama hujan terus menderas. Seperti kenangan yang tidak pernah tandas. Selalu berkelindan. Mungkin menunggu badai bernama penyesalan yang membuatnya kandas. Ayah, Ibu, kekasih. Mereka sama saja. Ada lalu tiada. Tiga tahun aku terus memanggil mereka kala malam tiba, kala segala kesendirian memelukku erat. Tidak, sapuan ombak yang menggulung rumahku telah menenggelamkan seluruh kebahagiaan yang kumiliki.
Seharusnya aku bahagia di malam itu. Seharusnya aku akan menjadi lelaki paling beruntung malam itu. Kekasihku mengiyakan lamaran dan ia berkunjung ke rumah bertemu Ayah dan Ibu. Kami berjanji akan menatapi pantai yang hanya berjarak lima belas menit dari rumah dan memandangi senja di sana sebelum bertemu dengan Ayah dan Ibu.
“Kamu kenapa gugup begitu?”
Saturday, August 4, 2018 0 comments

Tanpa Detik Dan Tanggal


Aku mencintaimu seperti berdiri di peron kereta tanpa detik dan tanggal. Menantikan kepulangan yang takjua ditemukan. Aku mencintaimu karena ketidaksempurnaan yang kelak akan menyempurnakan kelemahanku. Saat separuh diri masing-masing dipersatukan dan melahirkan rasa bahagia yang diam di samudra mata kita. Yang diam di segara rasa paling dalam.
Aku mencintaimu seperti mencintai kesendirianku. Saat tersisih dari keramaian dan meringkuk di dalam kegelapan sembari menumpahkan segala hujan yang takkuat ditampung oleh celung mata. Hujan yang kemudian melebur bersama tangisan langit, melahirkan sesak-sesak yang mengaliri kesepian.
Kehadiranmu seperti sebuah cahaya di tengah kegelapan itu. Saat kupikir mungkin hidup akan lebih baik jika tidak ada kehangatan sama sekali. Hujan setiap hari. Dan apa yang terlihat oleh mata hanyalah kepergian dan kesendirian bertubi-tubi. Saat rasanya jemariku bergemetar hebat, seakan setiap sesak di dalam dada mengalir hebat ke jemariku itu, lalu melahirkan kata-kata melalui goresan pena. Dan kamulah, gadis yang mencintai kata-kata itu.
Aku mencintaimu meskipun pertemuan tak jua ditakdirkan oleh Tuhan. Aku mencintaimu dalam doa yang dilangitkan di sepertiga malam. Dalam resap dan senyap di malam yang kian dingin.
Aku mencintaimu karena sejauh apa pun aku berjalan sendirian, kelak akan kutemukan kamu di ujung sana menungguku.
Saturday, July 28, 2018 0 comments

(Semoga) Bukan Pertanyaan Yang Salah


Sudah tiba waktunya untukku melambaikan tangan. Padamu yang pernah mendekapku diam-diam dalam sebuah perasaan yang penuh arti. Mungkin kamu tidak tahu. Mungkin hanya aku yang menginginkannya begitu. Tetapi, percayalah, keberadaanku yang selaik mirat ini begitu nyata di semestamu.
Aku memanggil detik kembali pulang. Setelah sekian lama menjauh, membuat jeda di antara kita seperti selamanya. Pun dengan Tanggal yang kembali kububuhkan ke dalam perjalananku. Kita sudah sampai di satu titik di mana tiada lagi yang tersisa untuk dikenang. Tiga tahun aku menunggu, tidak peduli hujan kian menderas atau matahari membakar semua harapan menjadi debu-debu penyesalan.
Benarkah aku menyesal?
Thursday, July 26, 2018 0 comments

Kita Sudah Sama-Sama Dewasa


Kita sudah sama-sama dewasa; mengerti soal masa depan yang diinginkan masing-masing. Terkadang, jalan yang kelak kita pilih tidak melulu perihal siapa yang melukai dan siapa yang tersakiti. Lebih dalam daripada itu, seharusnya yang kita bicarakan ialah bagaimana cara mengusaikan ikatan yang pernah menyatukan itu.
Suatu waktu, kamu akan menyadari bahwa menangguhkan perasaan tidak pernah mengenakkan bagi sesiapa pun. Mungkin kamu, meskipun tanpa bicara, mencoba kembali pergi dan meninggalkan lembar-lembar pertanyaan di kepalaku. Mungkin kamu, meskipun tanpa pertemuan, mencoba menghapus segala kata-kata yang pernah kutuliskan untukmu.
Kita sudah sama-sama dewasa; dan menyisakan aku dan kenanganmu yang dulu terbakar menjadi abu bersama waktu. Menyisakan kebodohan yang meranggas dadaku, bahwa meskipun kamu kembali dan bukan untukku; aku selalu merasa kamu kembali karena kisah kita belum jua usai.
Saturday, July 21, 2018 0 comments

Seandainya Itu Kita


Setiap daripada kita sebagai manusia pasti pernah merasakan dekapan perasaan yang dalam; saat perlahan rindu membasuh hati yang sebelumnya mengering, dan menjadikan cinta itu ada. Membuat kita tak berhenti tersenyum dan tak terkata-kata. Kita mengakui kekuatan yang ada, namun satu hal yang tidak kita ketahui: kehilangan meringkuk bersembunyi di balik bahagia.
Kehilangan itu yang kemudian merobek-robek perasaan. Atau bahkan, seringkali menjatuhkan gerimis di mata. Meriak di pipi, dan terus mengalir hingga menjadi genangan penyesalan. Bukankah kita semua pernah merasakan fase ini di perjalanan pencarian?
Justru kehilangan ini yang kemudian menguatkan hati; menguatkan individu dari setiap kita. Hingga akhirnya, ada secercah cahaya meliuk ke dalam gelapnya pandangan kita, dan menunjukkan betapa indahnya langit senja. Akan ada seseorang yang nanti datang menghampiri, dan mengatakan, “Oh, langit senja adalah langit terindah yang pernah ada. Dan kini aku menemukannya juga di kedua bola matamu,”
Thursday, July 19, 2018 0 comments

Bila Benar Kamu Menginginkannya


Apakah benar kamu juga mencintaiku?
Katamu, tulisanku tidak menemui kematiannya sendiri. Ia sampai ke ambang jendela matamu dan menyelundup ke dalam ruang-ruang pikiranmu. Katamu, tulisan itu ialah pengantar dari rasa yang akhirnya terungkapkan. Pengantar dari rindu yang basah ketika akhirnya kamu belajar sesuatu dari kepergian dan mulai benar-benar mencari ke sekelilingmu.
Ada aku di sana.
Kamu hanya perlu melangkah lebih jauh lagi. Hanya perlu merasai hujan lebih lama lagi. Dengan begitu, aku jadi tahu bahwa kita mencintai sesuatu yang sama. Bahwa kita memang saling menuju tanpa kata. Tulisan-tulisan yang dulu aku begitu ketakutan untuk sampai kepadamu ternyata menjelma harapan baru yang hinggap di merah bibirmu yang basah oleh air mata-ketika akhirnya benar-benar membaca segala yang kurahasiakan dari angin dan hujan.
Bila benar kamu menginginkannya, aku akan berhenti sejenak. Berpaling padamu. Dan itu bila benar, kamu menginginkannya.
Wednesday, July 18, 2018 0 comments

Kesepian


Kesepian ini semakin menguasai. Enggan pergi meski aku takingin ia hadir di dalam hidupku. Ia tahu betul bahwa ruang di dalam dada ini telah lama berdebu serupa perpustakaan tua yang kehilangan pengunjungnya. Perlahan ia mulai menyembuhkan luka yang lama dengan caranya sendiri-melalui duka.
Aku memang telah berkata untuk memulai perjalanan kembali. Mungkin tidak lagi di jejalanan yang basah di kota ini. Mungkin tidak lagi denganmu yang rindunya begitu tertaut di kota itu. Berhenti adalah pilihan yang telah kuambil. Meski hujan berbisik padaku bahwa kamu telah keluar dari jalan yang kamu lalui sebelumnya.
Katanya, kamu mulai mencoba untuk mencari tahu di jalan mana aku pernah menjejak. Sejauh apa aku pernah menuliskan kenangan hingga hanya menjadi buku-buku tak tersentuh di perpustakaan kepalaku.
Aku tidak percaya itu. Hujan kini hanya datang sesekali. Bisa saja ia berbohong hanya untuk membuatku tersenyum lagi. Entahlah, aku merasa kekosongan ini semakin menyesakkan. Kupikir aku akan bahagia dengan kembali berjalan untuk menemukankamu yang sebenarnya.
Tetapi sayangnya, aku begitu salah. Aku begitu bodoh. Kesepian kian menguasai.
Saturday, July 14, 2018 0 comments

Hari Yang Tak Pernah Ada


Berpura-pura selalu punya batas. Membohongi perasaan sendiri dan berasumsi bahwa segalanya baik-baik saja setelah kepergianmu. Masih ada sisa luka yang menganga di dalam dada. Masih ada sisa kata yang harus dimakamkan dari dalam kepala. Tidak ada yang baik-baik saja selama hujan menderas.
Dan air mataku, tak reda-reda.
Bermain dengan asumsi terkadang memang menyesakkan. Mencipta semesta dan membangun tetiap harapan baik di dalamnya. Menyematkan namamu di tetiap langitnya; hingga kala aku mendongakkan kepala, selalu ada namamu di sana—berdoa suatu hari nanti nama itu luruh dari langit dan resap ke dalam wajahku. Ketika itulah, aku akan menunjukkan kepadamu di hari bahagia kita.
Hari yang tidak pernah tiba.
Hari yang tidak pernah ada. Bagaimanapun juga, asumsi tidak akan menolong apa pun. Tidak akan membawa langkahku hingga membuatmu mengetahuinya. Sehingga, dadaku yang paling tidak keruan. Kamu tidak salah apa-apa. Pernah mengatakan saja tidak, mengapa kamu harus bersalah? Sementara, jauh di dalam penyesalanku, ingin rasanya untuk menuduhmu.
Namun, aku sadar, segara rasa yang kualirkan menujumu telah mengering. Tidak ada lagi apa-apa yang menjembatani perasaan kita. Dan, aku, terus berpura-pura untuk tetap tersenyum dan berkata aku akan terus mencintaimu.
Persetan dengan perasaan. Berpura-pura ada batasnya. Namun, aku tidak pernah menahu, kapan aku harus berhenti berpura-pura.
Monday, July 2, 2018 0 comments

Padamu, Segala Yang Kuberi Nama Semesta


Kamu. Satu-satunya nama yang hidup di dalam kepalaku; menerbitkan harapan di dalam dada ketika hati kecamuk oleh badai. Lalu kamu. Datang sebagai hangat yang sejak kemarin tak lagi kudapati. Menawarkan segala apa yang kini sedang kucari. Kamu, hati yang ingin kuperjuangkan walau bukan untuk kumiliki.
Aku ingin melupa pada detik yang telah menderas—yang telah melumat segala bahagia yang pernah lahir. Luka ini terbuka, tenggelam pada akhir. Tiada yang mampu menambalnya, hingga suatu waktu takdir mempertemukan kita—sesuatu yang sangat kusyukuri. Bagiku, kamu adalah obat yang kucari selama ini. Aku pernah bermimpi. Tentang penyatuan dua tangan untuk melempar doa-doa pada dini hari. Sampai aku tahu, bukan dengankulah ia ingin dibersamai. Lalu denganmu, sepasang tangan kini telah kembali. Memohon kebaikan semesta untuk merestui pertemuan ini.
Raih tanganku. Karena di antara jemarimu, kuselusupkan tetiap harapan perihal masa depan kita: bersama. Di matamu, aku menemukan bahagia—mengobati luka. Di matamu, aku menemukan segara yang alir dan tenang; membuatku ingin menyelaminya lebih dalam lagi. Dunia tahu aku bersyukur bisa membalut kekalutanmu. Bahkan tahu aku tersenyum karena jemari itu adalah milikmu. Tetapi, dunia pun tahu bahwa seluruh ketulusan ini, kalah telak dengan apa yang sudah kujalin bersama seorang laki-laki.
Saturday, June 30, 2018 0 comments

Aku Begitu Takut Kehilanganmu


Hey, aku pernah begitu takut akan kehilangan satu kali lagi. Setelah berulang kali harus menatapi kepergian orang-orang yang bisa menjadi pelipur kesepian, aku tidak ingin itu terjadi lagi. Perasaan tidak diciptakan Tuhan untuk terluka. Tiada obat yang benar-benar bisa mengobatinya. Dari utuh menjadi separuh, lalu separuh lagi hingga akhirnya tandas. Seperti itu rasanya, bila akhirnya aku kehilangan kamu.
Tetapi, semakin aku menunggu, rasanya kesempatan yang ada kian mengabu. Menjadi titik buta dari kebersamaan yang dinantikan-meskipun bibir ini tidak mampu mengatakan lebih dari sekadar sapaan. Aku tahu, kamu tidak akan pernah melihatku walau sekali, walau takdir rupanya perlahan memisahkan. Aku tahu, kamu tidak akan memilihku lagi. Mungkin bagimu, aku bukan siapa-siapa. Hanya lelaki yang pernah memimpikanmu sekali, teduh wajah yang dibingkai oleh sepasang kaca di matamu. Memimpikan kita bisa mendayung sampan di samudra yang sama, dengan kepalamu bersandar di bahuku dan aku membelai lembut pipimu.
Di senja sore itu aku menyematkan semoga pada Tuhan, agar memindahkan semesta nyata ke dalam bunga tidur ini. Aku ingin membersamaimu. Walau itu hanya sebagian kecil dari ketidakmungkinan. Walau itu hanya sedikit harap yang barangkali kamu akan menertawainya bila kelak mengetahuinya. Mungkin, perasaanku hanya sekadar kelakar bagimu. Sekadar perasaan sesaat yang paling hanya bertahan di bibir saja. Bertahan demi sebuah pembuktian bahwa aku tidak akan pernah bisa dicintai oleh siapa pun-kecuali oleh sepi yang hidup di kedua mataku.
Mungkin, bukan aku yang tidak berani mengambil langkah lebih jauh; tetapi itu kamu, yang terus-menerus mencari alasan untuk menjauh. Melupakan segala kata yang pernah kusisipkan di matamu melalui sepasang buku yang menyematkan namamu di dalamnya. Mungkin, kamu memang tidak butuh itu. Kamu tidak butuh aku; lelaki yang hanya bisa mencintai kehilangannya sendiri. Lelaki yang tidak bisa menjejak lebih dari sekadar jejalanan basah yang mengantar langkah pergimu. Bila saja, kamu mau membuka kembali pintu hati dan membiarkanku bertamu ke sana walau sejenak, kamu tidak akan menyesalinya. Toh, tidak akan lama.
         Bila saja, kamu mau membaca keseluruhan semesta yang hidup di dalam kata-kata; di sanalah aku membangun masa depan untuk kita. Masa depan yang sebentar lagi dipenuhi debu karena tiada satu kata pun kamu utarakan untuk mengiyakan.
Mungkin memang benar, aku tidak benar-benar hidup di dalam hatimu.

 
;